Dari Keterbatasan hingga Menjadi Sarjana Arsitektur: Kisah Haru Aliya Eka Listiyanti di Wisuda ke-53 UMSurabaya

  • Home -
  • News -
  • Dari Keterbatasan hingga Menjadi Sarjana Arsitektur: Kisah Haru Aliya Eka Listiyanti di Wisuda ke-53 UMSurabaya
Gambar Berita Dari Keterbatasan hingga Menjadi Sarjana Arsitektur: Kisah Haru Aliya Eka Listiyanti di Wisuda ke-53 UMSurabaya
  • 28 Oct
  • 2025

Aliya Eka Listiyanti. Mahasiswi Program Studi Arsitektur (Humas)

Dari Keterbatasan hingga Menjadi Sarjana Arsitektur: Kisah Haru Aliya Eka Listiyanti di Wisuda ke-53 UMSurabaya

Di balik toga dan senyum bahagia yang menghiasi Wisuda ke-53 Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Sabtu (26/10), tersimpan kisah perjuangan luar biasa dari seorang gadis bernama Aliya Eka Listiyanti. Mahasiswi Program Studi Arsitektur ini bukan hanya berhasil lulus dengan predikat cumlaude (IPK 3.79), tetapi juga menjadi simbol keteguhan hati seorang anak dari keluarga sederhana yang menolak menyerah pada keadaan.

Aliya lahir dan tumbuh di keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas. Sang ayah bekerja serabutan, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Sejak kecil, Aliya belajar bahwa keinginan tidak selalu bisa terwujud dengan mudah. Namun di balik kesederhanaan itu, tumbuh tekad kuat untuk terus belajar dan berprestasi.

“Waktu SD sampai SMP, saya selalu berusaha jadi juara kelas. Saya percaya, pendidikan bisa mengubah hidup saya,” kenangnya.

Namun perjalanan itu tak semulus yang dibayangkan. Saat ingin melanjutkan ke SMA, ia hampir putus sekolah karena keterbatasan biaya. Hingga datang pertolongan dari seorang kerabat jauh yang bersedia menanggung biaya pendidikan dan memberinya tempat tinggal. “Kalau tidak karena kebaikan Mas Eko dan keluarganya, mungkin saya tidak akan bisa sekolah lagi,” ujarnya penuh haru.

Dari Ditolak Kampus Hingga Diterima dengan Beasiswa

Setelah lulus SMA, perjuangan baru dimulai. Beberapa universitas menolak Aliya karena jurusan Arsitektur yang ia incar memiliki persaingan ketat. “Saya sempat merasa gagal, merasa mungkin mimpi ini terlalu tinggi untuk gadis dari keluarga sederhana seperti saya,” tuturnya.

Namun, rasa putus asa itu berubah menjadi semangat ketika ia melihat perjuangan kedua orang tuanya. Ayahnya bekerja keras sebagai buruh dan tukang ojek, sementara sang ibu berusaha menopang ekonomi keluarga sendirian setelah perpisahan mereka. “Saya tidak mau perjuangan mereka sia-sia. Saya harus terus melangkah,” ucapnya.

Aliya mulai bekerja sebagai guru les privat untuk membiayai biaya ujian masuk kuliah. Sedikit demi sedikit, ia menabung dari hasil mengajar anak-anak SD. Setiap lembar uang yang ia kumpulkan adalah wujud tekad dan harapan baru.

Akhirnya, kerja keras itu terbayar. Ia diterima di UM Surabaya melalui program beasiswa KIP-Kuliah penuh. Hari itu menjadi momen yang tak terlupakan. “Saya menangis waktu menerima pengumuman. Bukan karena saya lolos, tapi karena saya berhasil membuktikan pada diri sendiri bahwa saya mampu,” katanya.

Berjuang di Tengah Duka

Selama kuliah, Aliya dikenal sebagai mahasiswi yang aktif dan berprestasi. Ia menorehkan berbagai penghargaan tingkat nasional seperti Gold dan Silver Medal di Futuristic and Prestige Research, Technology, and Art (2023), serta Silver dan Bronze Medal di Mandalika Essay Competition (2024). Ia juga menjadi peserta terbaik dalam program Studi Independen MSIB Batch 5 di PT Neosia Pratama Indonusa, bahkan dipercaya memimpin lebih dari 100 peserta dari seluruh Indonesia.

Namun di tengah masa kejayaan itu, badai datang menghantam. Saat memasuki semester tujuh, ibunda tercinta jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.

“Itu titik terendah dalam hidup saya. Ibu adalah sumber doa dan semangat saya. Beliau orang pertama yang ingin saya buat bangga saat wisuda,” ucap Aliya dengan suara bergetar.

Duka mendalam itu hampir membuatnya menyerah. Tapi Aliya memilih untuk bangkit. Ia menjadikan skripsinya sebagai bentuk penghormatan bagi sang ibu. Tugas akhirnya adalah desain pengembangan rumah sakit di desanya  tempat terakhir ibunya dirawat sebelum berpulang. “Setiap garis yang saya gambar penuh kenangan. Skripsi itu bukan hanya karya akademik, tapi juga persembahan cinta terakhir untuk ibu,” tuturnya lirih.

Bangkit untuk Harapan Baru

Perjalanan Aliya bukan hanya tentang perjuangan akademik, tapi juga tentang menemukan kekuatan di tengah kehilangan. Ia kini menjadi sarjana pertama dalam keluarganya — simbol harapan baru bagi adik dan keluarganya.

“Saya belajar bahwa yang membuat seseorang kuat bukan karena ia tidak pernah jatuh, tapi karena ia selalu memilih untuk bangkit,” ucapnya dengan senyum lembut.

Bagi Aliya, wisuda bukanlah akhir, melainkan awal untuk menebar manfaat lebih luas melalui ilmu yang ia miliki. 

“Saya ingin menjadi arsitek yang tidak hanya membangun bangunan, tapi juga harapan,” katanya.

Kisah Aliya mengingatkan bahwa setiap mimpi, sekecil apa pun, bisa tumbuh menjadi kenyataan jika disiram dengan tekad, doa, dan keberanian untuk terus melangkah bahkan ketika dunia terasa runtuh.