Rizka Aulia Rahma (Humas)
Bagi sebagian orang, menempuh satu profesi di bidang kesehatan sudah cukup menantang. Namun bagi Rizka Aulia Rahma, lulusan Farmasi yang kini resmi menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), belajar adalah perjalanan tanpa garis akhir. Ia membuktikan bahwa ketekunan dan doa bisa membuka jalan yang dulu terasa mustahil.
Sejak kecil, Rizka akrab dengan dunia medis. Kedua orang tuanya adalah dokter yang tak hanya menolong pasien, tapi juga menanamkan nilai-nilai tanggung jawab dan rasa syukur dalam setiap langkah hidupnya.
“Saya sering melihat orang tua melakukan tindakan kecil di rumah. Dari situ muncul rasa kagum, dan secara tidak sadar, cita-cita menjadi dokter mulai tumbuh,” kenangnya.
Dari sang ayah, Rizka belajar tentang tanggung jawab.
“Ayah pernah bilang, jangan pernah berkata seandainya dulu begini atau begitu. Karena kalau terus menyesal, kita malah menyalahkan takdir. Lebih baik memperbaiki di masa depan,” tutur Rizka.
Prinsip itu yang ia pegang teguh hingga kini: melakukan yang terbaik dan bertanggung jawab penuh atas setiap keputusan.
Perjalanan Rizka menuju dunia kedokteran bukan tanpa rintangan. Setelah lulus SMA, ia gagal masuk fakultas kedokteran impian hingga tiga kali melalui jalur SBMPTN. Rasa sedih dan kecewa sempat membuatnya kehilangan semangat. Namun, kedua orang tuanya tetap menjadi sumber kekuatan.
“Mereka bilang, dimanapun saya belajar, pasti ada hikmah yang bisa diambil. Saat itu saya diterima di Fakultas Farmasi, dan mereka tetap mendukung penuh,” ungkapnya.
Meski awalnya merasa farmasi bukan pilihan utama, Rizka menjalaninya dengan tekun hingga meraih gelar apoteker. Ia mengakui bahwa farmasi membuka pandangan baru tentang dunia kesehatan.
“Saya jadi sadar, tidak ada profesi yang lebih tinggi. Semua saling melengkapi demi kebaikan pasien.”katanya.
Namun, cita-cita masa kecil itu belum padam. Atas izin ayahnya, Rizka kembali mencoba mendaftar ke fakultas kedokteran yang membuka peluang berdasarkan batas usia. Tak disangka, FK UM Surabaya menjadi pintu yang Allah bukakan baginya. “Saya merasa itu jawaban doa panjang saya. Saat diterima, saya menangis bahagia dan berjanji akan bertanggung jawab atas semua keputusan ini,” ucapnya dengan mata berbinar.
Memulai kuliah kedokteran di saat banyak teman sebayanya sudah bekerja tentu bukan hal mudah. Ada rasa canggung, bahkan beban batin karena masih bergantung secara finansial pada orang tua. Tapi justru dari sanalah Rizka belajar arti perjuangan yang sebenarnya.
“Orang tua bilang, biaya kuliah itu bukan beban, tapi warisan ilmu yang manfaatnya bisa saya teruskan sepanjang hidup,” ujarnya.
Di FK UM Surabaya, Rizka merasa menemukan lingkungan yang tepat. Ia menyebut kampus ini tidak hanya menekankan kecerdasan akademik, tapi juga nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
“Dosen-dosennya luar biasa, pembelajarannya juga mendalam. Tapi yang paling saya suka, di sini kami selalu diajak melibatkan Allah dalam setiap proses belajar dan pengabdian,” katanya.
Kini, dengan bekal dua bidang ilmu, Rizka memahami pentingnya kolaborasi antarprofesi dalam dunia medis. “Farmasi dan kedokteran itu ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Saat saya melihat terapi pasien, saya bisa langsung menebak mekanisme obat dan diagnosa klinisnya. Itu membantu sekali dalam proses pembelajaran,” jelasnya.
Ia percaya bahwa kolaborasi antara dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan lain akan memperkuat pelayanan yang berpusat pada pasien (patient-oriented care). “Kita tidak bisa bekerja sendiri. Pelayanan terbaik hanya bisa dicapai lewat sinergi.”
Kini setelah berhasil mewujudkan cita-cita masa kecilnya, Rizka tidak ingin berhenti di sini. Ia bercita-cita menjadi dosen dan praktisi di bidang kesehatan, menggabungkan ilmu farmasi dan kedokteran dalam pendidikan dan riset.
“Saya ingin terus belajar, mengajar, dan meneliti. Saya percaya ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa dibagikan,” ungkapnya.
Ketika ditanya bagaimana ia ingin dikenang, Rizka menjawab sederhana namun dalam:
“Saya ingin dikenang sebagai pembelajar sepanjang hayat. Karena bagi saya, belajar tidak berhenti di ruang kelas belajar adalah bagian dari hidup itu sendiri,”katanya.
Ia menutup kisahnya dengan filosofi Jawa yang menjadi prinsip hidupnya:
“Alon-alon asal kelakon. Saya ingin berjalan pelan tapi konsisten, karena proses yang dijalani dengan sabar akan berbuah hasil yang berkah.”
(0) Comments