Istimewa
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuai kritik usai menyinggung soal gaji guru dan dosen dalam pidatonya di Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri di ITB. Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa rendahnya gaji guru dan dosen merupakan tantangan keuangan negara, sambil mempertanyakan apakah seluruh pembiayaan harus ditanggung negara atau melibatkan partisipasi masyarakat.
Pernyataan tersebut, yang juga disertai guyonan terkait tunjangan kinerja (tukin) dosen dan tolok ukur kelayakannya, dinilai tidak empatik dan cenderung melempar tanggung jawab.
Sri Lestari, pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), menilai ucapan Sri Mulyani menyiratkan bahwa kesejahteraan guru dan dosen belum menjadi prioritas pemerintah. Ia menyoroti guyonan soal “jenis-jenis dosen” yang berpotensi membentuk kasta antara dosen kelas atas dan bawah, dengan produktivitas penelitian sebagai indikator pembeda.
“Dosen di Indonesia tidak hanya menjalankan penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat, ditambah beban administratif yang besar. Pertanyaannya, apakah indikator kinerja yang selama ini digunakan sudah adil, transparan, dan tidak memberatkan?” ujar Tari Jumat (15/8/25)
Lebih jauh, Tari mengingatkan bahwa pernyataan Sri Mulyani seolah membuka jalan bagi privatisasi pendidikan. Meskipun di beberapa negara keterlibatan swasta dalam pendanaan penelitian sudah lazim, Indonesia berisiko menghadapi ketimpangan. Kampus besar dengan reputasi kuat akan lebih mudah mendapat dukungan, sedangkan kampus di daerah semakin tertinggal.
Privatisasi, lanjutnya, juga berpotensi membuat biaya pendidikan semakin mahal dan akses semakin terbatas. Ia mencontohkan kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang mendorong kampus negeri menerima lebih banyak mahasiswa di luar kapasitas, sehingga fokus dosen teralih pada pengajaran dan mengurangi waktu untuk penelitian serta pengabdian masyarakat.
Tari menegaskan, dibanding negara lain, gaji dosen dan guru di Indonesia relatif lebih rendah dengan beban kerja yang tinggi. Karena itu, persoalan ini bukan sekadar tentang siapa yang membayar gaji, melainkan bagaimana menempatkan pendidikan sebagai fondasi utama kualitas sumber daya manusia di masa depan.
“Perlu ada reformasi menyeluruh terhadap indikator kinerja dosen agar lebih berkualitas, berdampak, kompetitif, dan manusiawi. Penilaian tidak hanya berbasis kuantitas publikasi, tetapi pada kualitas, manfaat, dan dampaknya terhadap kesejahteraan dosen dan kemajuan Indonesia,” tegasnya.
(0) Comments