Tangkapan layar instagram (Istimewa)
Viral video perundungan yang menimpa seorang siswa SMP Negeri 3 Doko, Blitar, Jawa Timur, memicu keprihatinan luas. Korban berinisial WV (12), siswa baru kelas VII, dikeroyok oleh puluhan siswa lain saat kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada Jumat (18/7/2025), hingga mengalami trauma fisik dan psikologis.
Menanggapi kejadian tersebut, pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Sri Lestari, menilai insiden itu sebagai bentuk nyata kegagalan sistem pengawasan sekolah dalam menjamin keamanan peserta didik. Menurutnya, kasus ini menandakan tidak adanya mekanisme pencegahan yang matang sejak awal MPLS dirancang.
“Sekolah seharusnya mampu memetakan potensi adanya perundungan lebih dini. Pencegahan seharusnya menjadi langkah awal, bahkan sejak hari pertama MPLS,” tegas Tari Rabu (23/7/25)
Ia menjelaskan bahwa perundungan adalah persoalan kompleks yang harus ditangani secara menyeluruh sebelum, saat, dan setelah kejadian. Dalam konteks MPLS, menurutnya, sekolah perlu memiliki standar pelaksanaan yang jelas dan tertulis, termasuk aturan tegas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
“Sosialisasi menyeluruh kepada seluruh elemen sekolah sangat penting. Jika perlu, diberlakukan sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar aturan pelaksanaan MPLS,” tambahnya.
Terkait penyelesaian kasus melalui mediasi antara keluarga korban dan pelaku seperti yang disebutkan oleh pihak Dinas Pendidikan, Tari menegaskan bahwa proses mediasi tidak boleh menjadi akhir dari penanganan kasus.
“Mediasi harus diimbangi dengan langkah rehabilitatif dan edukatif bagi pelaku agar efek jera dan nilai moral dapat terbentuk. Tidak boleh hanya selesai dengan permintaan maaf atau kesepakatan damai,” ujarnya.
Tari juga menyoroti pentingnya pendampingan bagi korban dan pelaku, baik secara psikologis maupun hukum. Mengingat pelaku masih berstatus anak di bawah umur, penanganan harus mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Jangan normalkan perspektif ‘namanya juga anak-anak’. Justru karena masih anak-anak, pendampingan harus maksimal agar proses tumbuh kembang mereka tidak terdistorsi oleh pengalaman buruk,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyebut kejadian ini sebagai tamparan keras tidak hanya bagi sekolah, tetapi juga bagi Dinas Pendidikan dan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Insiden tersebut mencerminkan bahwa nilai-nilai pendidikan anti-kekerasan belum benar-benar tertanam dalam budaya sekolah.
Sebagai solusi jangka panjang, Tari mendorong revisi menyeluruh terhadap format MPLS secara nasional dan pembentukan mekanisme pelaporan kasus kekerasan di sekolah yang aman, ramah anak, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor.
“MPLS seharusnya menjadi masa adaptasi yang menyenangkan dan membangun semangat siswa, bukan menjadi ajang kekerasan yang merusak psikis anak sejak awal mereka masuk ke dunia sekolah baru,” pungkasnya.
(0) Comments