Pakar UM Surabaya: Larangan Total Sound Horeg Bukan Solusi, Regulasi Adil Lebih Relevan

  • Home -
  • Article -
  • Pakar UM Surabaya: Larangan Total Sound Horeg Bukan Solusi, Regulasi Adil Lebih Relevan
Gambar Artikel Pakar UM Surabaya: Larangan Total Sound Horeg Bukan Solusi, Regulasi Adil Lebih Relevan
  • 29 Jul
  • 2025

Sumber : Foto Muaranews

Pakar UM Surabaya: Larangan Total Sound Horeg Bukan Solusi, Regulasi Adil Lebih Relevan

Wacana pelarangan total praktik sound horeg (sound system dengan volume tinggi yang marak di acara rakyat) kembali mencuat usai Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram atas hiburan tersebut. Namun, pendekatan pelarangan mutlak ini dinilai berisiko menimbulkan konflik baru di tengah masyarakat.

Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), M. Febriyanto Firman Wijaya, M.Sos., menilai bahwa fenomena sound horeg tak bisa semata dilihat sebagai gangguan. 

“Sound horeg itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah ekspresi budaya, identitas komunal, dan bagian dari ekonomi kreatif warga. Melarang secara mutlak justru bisa memicu resistensi dan memperkeruh situasi sosial,” tegas Febriyanto, Selasa (29/7/2025).

Ia menjelaskan, fenomena ini mencerminkan tarik-menarik antara dua hak mendasar dalam masyarakat demokratis: hak atas kebebasan berekspresi dan hak publik atas ketenangan. Dalam negara hukum dan masyarakat majemuk, lanjutnya, kedua hak tersebut tidak bisa dipertentangkan secara biner.

“Kita tidak bisa memilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Prinsip keadilan sosial justru menuntut negara untuk menyeimbangkan keduanya.”

Negara, kata Riyan, seharusnya tidak berpihak pada salah satu kelompok, melainkan menjadi penengah yang mengatur secara adil dan proporsional. Ia mengingatkan bahwa konstitusi menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan yang sehat. Maka pembatasan terhadap aktivitas seperti sound horeg bisa dibenarkan, asal tujuannya legitimate, tidak diskriminatif, dan tetap memberi ruang bagi ekspresi budaya,” imbuhnya.

Riyan juga mengkritisi pendekatan pelarangan mutlak yang dinilai tidak menyentuh akar persoalan. Ia menekankan bahwa fatwa hanya memiliki kekuatan moral, dan tidak serta-merta menjadi solusi menyeluruh jika tidak dibarengi edukasi dan dialog. Tanpa pendekatan yang menyeluruh, pelarangan justru bisa melahirkan perlawanan diam-diam dan praktik ilegal yang lebih sulit diawasi.

Sebagai alternatif, ia mengusulkan solusi berbasis regulasi partisipatif dan pengelolaan dampak. Di antaranya, pengaturan batas desibel suara, jam operasional, hingga zonasi tertentu untuk penggunaan sound system.

“Pemerintah bisa mendorong pelaku sound system untuk menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan sesuai standar kebisingan. Ini soal inovasi, bukan sekadar soal pelarangan,” ujarnya.

Riyan juga mendorong pelibatan berbagai pihak dalam proses perumusan regulasi. Menurutnya, pendekatan top-down tanpa partisipasi publik akan sulit diterima dan dijalankan.

“Kalau dirumuskan bersama oleh pemerintah, akademisi, tokoh agama, pelaku budaya, dan masyarakat terdampak regulasinya akan lebih adil dan aplikatif,” tandasnya.

Di akhir pernyataannya, Riyan menegaskan bahwa solusi atas polemik sound horeg harus mengedepankan keadilan sosial, bukan pendekatan represif.

“Kebebasan berekspresi itu penting, tapi tidak boleh menindas hak orang lain untuk hidup tenang. Sebaliknya, ketertiban umum juga tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan kreativitas dan budaya rakyat,” pungkasnya.