Pakar Ekonomi UM Surabaya Nilai Wacana Pemajakan Amplop Hajatan Tidak Adil dan Tak Layak

  • Home -
  • Article -
  • Pakar Ekonomi UM Surabaya Nilai Wacana Pemajakan Amplop Hajatan Tidak Adil dan Tak Layak
Gambar Artikel Pakar Ekonomi UM Surabaya Nilai Wacana Pemajakan Amplop Hajatan Tidak Adil dan Tak Layak
  • 28 Jul
  • 2025

ilustrasi amplop hajatan (Istimewa)

Pakar Ekonomi UM Surabaya Nilai Wacana Pemajakan Amplop Hajatan Tidak Adil dan Tak Layak

Wacana pemajakan terhadap amplop kondangan atau hajatan yang mencuat usai pernyataan Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menuai beragam reaksi publik. Meski Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah membantah adanya rencana pemungutan pajak dari amplop yang diterima masyarakat saat hajatan, isu ini telah memicu keresahan dan polemik di tengah masyarakat.

Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Fatkur Huda, menyatakan bahwa wacana pemajakan terhadap amplop hajatan mencerminkan kebijakan yang tidak adil secara sosial dan berpotensi mengganggu norma budaya masyarakat Indonesia.

“Amplop dalam hajatan seperti pernikahan, khitanan, atau syukuran bukanlah penghasilan dalam pengertian ekonomi formal. Itu adalah bentuk solidaritas sosial, bukan aktivitas ekonomi yang seharusnya dikenakan pajak,” tegas Fatkur Senin (28/7/2025).

Menurutnya, jika pemerintah memaksakan regulasi terhadap pemberian yang bersifat pribadi dan insidental ini, akan terjadi kerumitan dalam pengawasan dan pelaporan. Negara akan sulit membedakan mana pemberian yang bersifat personal dan mana yang komersial.

“Jika dipaksakan, masyarakat akan merasa terlalu diawasi dalam ranah privat mereka. Hal ini justru bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan, dan berujung pada penurunan kepatuhan sukarela masyarakat,” jelasnya.

Fatkur menilai bahwa jika tujuan pemerintah adalah meningkatkan penerimaan negara atau menutup defisit anggaran, maka langkah tersebut sangat tidak tepat. Alih-alih membebani masyarakat kecil, pemerintah seharusnya lebih serius mengejar potensi pajak dari sektor besar seperti korporasi, industri digital, dan pembenahan tata kelola BUMN.

“Membebani rakyat yang baru menyelenggarakan hajatan justru menunjukkan ketimpangan prioritas fiskal negara. Ini tidak hanya tidak adil secara ekonomi, tapi juga tidak layak secara moral dan teknis untuk dijadikan kebijakan resmi,” pungkasnya.