Istimewa
Fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang terjadi di berbagai daerah belakangan ini menuai sorotan publik. Kenaikan tarif pajak yang cukup signifikan tersebut merupakan dampak dari penerapan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) maupun tarif PBB-P2.
Dosen Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Fatkur Huda, menilai bahwa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak sejatinya adalah langkah sah untuk memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah. Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan kenaikan ekstrem yang dilakukan secara tiba-tiba berisiko menimbulkan tax shock dan penolakan dari masyarakat.
“Prinsipnya, pajak adalah instrumen pembangunan. Tapi jika kenaikannya mendadak tanpa komunikasi yang jelas, masyarakat bisa merasa terbebani secara tidak wajar. Hal ini berpotensi memicu resistensi dan krisis kepercayaan,” jelas Fatkur Sabtu (16/8/25)
Menurutnya, ada tiga hal penting yang seharusnya menjadi acuan pemerintah daerah sebelum memutuskan kenaikan pajak:
Pertama, mempertimbangkan daya bayar masyarakat dan pelaku usaha, terutama di masa pemulihan ekonomi.
Kedua, menyampaikan secara transparan dasar perhitungan serta rencana penggunaan pajak, agar masyarakat memahami manfaatnya.
Ketiga, menerapkan kenaikan bertahap atau memberi keringanan bagi kelompok rentan, guna menghindari gejolak sosial.
Lebih lanjut Fatkur menekankan bahwa legitimasi pajak sangat bergantung pada rasa keadilan.
“Jika masyarakat merasa keputusan pemerintah tidak seimbang dengan kemampuan ekonomi mereka, maka tujuan baik untuk memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) justru bisa berbalik menjadi krisis legitimasi fiscal,”pungkasnya.
(0) Comments