Kembali Viral Santri Ikut Ngecor di Pondok Pesantren, Ini Kata Dosen UMSurabaya

  • Home -
  • Article -
  • Kembali Viral Santri Ikut Ngecor di Pondok Pesantren, Ini Kata Dosen UMSurabaya
Gambar Artikel Kembali Viral Santri Ikut Ngecor di Pondok Pesantren, Ini Kata Dosen UMSurabaya
  • 06 Oct
  • 2025

Ilustrasi gambar (Istimewa)

Kembali Viral Santri Ikut Ngecor di Pondok Pesantren, Ini Kata Dosen UMSurabaya

Fenomena santri ikut terlibat langsung dalam pekerjaan konstruksi, seperti pengecoran bangunan pondok pesantren, kembali menjadi sorotan publik. Isu ini mencuat pasca insiden robohnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khozini di Sidoarjo beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal ini, M. Febriyanto Firman Wijaya, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), menilai bahwa keterlibatan santri dalam pembangunan pondok pesantren merupakan tradisi sosial yang memiliki nilai positif, tetapi juga menyimpan problem serius bila tidak disertai batasan yang jelas.

Menurut Riyan, sejak lama pesantren dikenal sebagai ruang pembentukan karakter berbasis kebersamaan. Keterlibatan santri dalam pembangunan fasilitas pesantren dapat dipahami sebagai wujud sense of belonging atau rasa kepemilikan.

“Santri merasa memiliki tanggung jawab terhadap fasilitas yang mereka gunakan. Keringat dan tenaga yang mereka curahkan menjadi bagian dari sejarah dan ruh pesantren,” jelasnya Senin (6/10/25)

Selain itu, aktivitas fisik bersama ini mendidik santri dalam nilai keikhlasan, kerja keras, solidaritas, dan gotong royong. Bahkan dalam tradisi keagamaan, berpartisipasi dalam pembangunan sarana ibadah dan pendidikan dipandang sebagai amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.

Namun, Riyan mengingatkan bahwa nilai luhur tradisi pesantren tidak boleh menutup mata terhadap persoalan keselamatan dan perlindungan anak. Pekerjaan konstruksi, terutama pengecoran beton, memiliki risiko tinggi: bekerja di ketinggian, mengangkat beban berat, hingga ancaman kegagalan struktur.

“Ketika santri yang masih di bawah umur dilibatkan tanpa pelatihan, perlengkapan K3, dan pengawasan profesional, itu bukan lagi pengabdian, melainkan pelanggaran etika dan hukum,” tegasnya.

Lebih jauh, Riyan menyebut potensi pergeseran gotong royong menjadi bentuk eksploitasi harus diwaspadai. Partisipasi santri seharusnya murni sukarela dan sesuai kapasitas. Jika keterlibatan itu menjadi kewajiban, hukuman, atau mengganggu kegiatan belajar, maka nilainya bergeser ke arah yang salah.

Dari sisi teknis, pembangunan pondok terutama pada struktur utama semestinya menjadi tanggung jawab penuh tenaga profesional. Kualitas konstruksi tidak boleh dikompromikan, sebab kegagalan struktur dapat berakibat fatal bagi seluruh komunitas pesantren.

Menutup pandangannya, Riyan menekankan pentingnya transformasi dalam manajemen pembangunan pesantren. Tradisi pengabdian tetap bisa dijaga, namun harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan, keselamatan, dan perlindungan anak.

“Pesantren bisa tetap melestarikan nilai gotong royong dalam bentuk yang aman, misalnya keterlibatan santri pada tahap persiapan atau kegiatan non-teknis. Tetapi untuk konstruksi inti, biarkan itu menjadi ranah profesional,” pungkasnya.

Fenomena ini, menuru Riyan, perlu menjadi refleksi bersama agar pesantren mampu terus menjaga tradisi tanpa mengorbankan keselamatan para santrinya.