Gelombang Protes Gen Z Guncang Nepal, Ini Kata Pakar Hukum Internasional UMSurabaya

  • Home -
  • Article -
  • Gelombang Protes Gen Z Guncang Nepal, Ini Kata Pakar Hukum Internasional UMSurabaya
Gambar Artikel Gelombang Protes Gen Z Guncang Nepal, Ini Kata Pakar Hukum Internasional UMSurabaya
  • 11 Sep
  • 2025

Foto Istimewa

Gelombang Protes Gen Z Guncang Nepal, Ini Kata Pakar Hukum Internasional UMSurabaya

Nepal diguncang gelombang protes besar-besaran sejak Jumat (5/9/2025). Aksi yang dipimpin generasi muda ini bermula dari kebijakan pemerintah memblokir sejumlah platform media sosial, lalu berkembang menjadi letupan amarah terkait dugaan korupsi pejabat serta minimnya peluang ekonomi.

Kerusuhan pada Senin (8/9/2025) berujung tragis. Sedikitnya 22 orang tewas dan lebih dari 400 orang luka-luka akibat bentrokan dengan aparat.

Kelompok usia 13–28 tahun atau generasi Z menjadi motor perlawanan. Kekecewaan mereka sudah lama terpendam, terutama atas kegagalan pemerintah memberantas korupsi yang dianggap mengakar puluhan tahun.

Puncak kemarahan terjadi ketika pemerintah memutuskan memblokir Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, hingga X. Kebijakan yang diklaim bertujuan membendung hoaks dan ujaran kebencian, sekaligus menekan perusahaan teknologi asing agar mendaftar di Nepal, justru memantik demonstrasi besar di ibu kota Kathmandu hingga kota-kota lainnya.

Menanggapi fenomena iniPakar Hukum Internasional Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana, menilai kasus Nepal mencerminkan gejala kemunduran demokrasi yang kini juga dirasakan banyak negara, termasuk Indonesia dan Meksiko.

“Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya pemimpin populis yang abai pada prinsip good governance dan justru menggunakan cara-cara koruptif. Ledakan amarah publik diperkuat oleh peran anak muda yang terkonsolidasi, meski tanpa pemimpin tunggal. Mereka dipersatukan oleh tagar,” jelas Satria Kamis (11/9/25)

Ia menambahkan, mundurnya Perdana Menteri Nepal mencerminkan sikap kenegarawanan, sekaligus menunjukkan adanya perpecahan di kalangan elite.

“Berbeda dengan Indonesia yang minim oposisi, di Nepal peran oposisi mendukung aksi rakyat. Ini membuat konsolidasi semakin kuat,” ujarnya.

Menurutnya, situasi ini memiliki dua sisi. Buruk, karena pergantian pemerintahan ditempuh lewat demonstrasi massa. Namun juga baik, karena masyarakat mampu terkonsolidasi secara cair tanpa figur tunggal.

Dalam konteks hukum internasional, Satria menegaskan bahwa suksesi kepemimpinan baik melalui jalur demokratis maupun revolusioner merupakan hal wajar.

“Yang penting adalah bagaimana transisi itu dikelola, karena akan memengaruhi pengakuan negara di mata internasional serta hubungan diplomatik Nepal dengan dunia,” tegasnya.