Gas Air Mata Masuk Kampus Unisba dan Unpas, Pakar Hukum: Pelanggaran Serius terhadap Kebebasan Akademik

  • Home -
  • Article -
  • Gas Air Mata Masuk Kampus Unisba dan Unpas, Pakar Hukum: Pelanggaran Serius terhadap Kebebasan Akademik
Gambar Artikel Gas Air Mata Masuk Kampus Unisba dan Unpas, Pakar Hukum: Pelanggaran Serius terhadap Kebebasan Akademik
  • 03 Sep
  • 2025

Istimewa

Gas Air Mata Masuk Kampus Unisba dan Unpas, Pakar Hukum: Pelanggaran Serius terhadap Kebebasan Akademik

Jagat media sosial digemparkan dengan kabar dua kampus di Jawa Barat, Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas), menjadi sasaran tembakan gas air mata oleh aparat kepolisian. Peristiwa ini terjadi pada Senin malam (1/9/2025) usai ricuh aksi demonstrasi.

Dilansir dari akun Instagram @info.mahasiswaunisba, terlihat jelas aparat mengarahkan gas air mata hingga masuk ke area kampus menjelang tengah malam. Kejadian ini sontak menuai kecaman dari publik, khususnya karena kampus semestinya menjadi ruang aman untuk belajar dan berdiskusi.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana, menilai tindakan aparat merupakan bentuk pelanggaran serius.

“Ketika aparat keamanan masuk ke kampus, apalagi sampai menembakkan gas air mata, itu jelas pelanggaran serius. Tidak hanya dalam konteks kebebasan akademik, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia,” tegasnya Selasa 3/9/25

Satria menjelaskan bahwa Undang-Undang Pendidikan Tinggi menjamin adanya otonomi perguruan tinggi, yang meliputi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi kelembagaan. Artinya, kampus wajib menjadi ruang aman dari berbagai bentuk intervensi, termasuk dari aparat.

“Jangankan menembakkan gas air mata, melarang diskusi saja sudah merupakan pelanggaran serius di kampus. Perguruan tinggi punya otoritas menjaga dirinya dari berbagai serangan, dan seharusnya aparat justru mau mendengar diskusi kritis yang berkembang di sana,” tambahnya.

Menurutnya, tindakan represif aparat justru bertolak belakang dengan semangat demokrasi. “Kampus adalah ruang dialog, bukan ruang komando. Kalau aparat menutup diri dari kritik dan memilih jalan kekerasan, itu justru menggeser kita dari negara demokratis menuju praktik otoritarianisme,” ujarnya.

Satria pun berharap Presiden, Kapolri, hingga pimpinan TNI lebih mengedepankan dialog dalam menyikapi kritik publik. 

“Masyarakat butuh didengar. Kritik mungkin tidak selalu menyenangkan, tapi justru itulah yang memperkuat demokrasi. Jangan sampai tindakan aparat malah menegaskan bahwa kita bergerak ke arah otoritarianisme,” pungkasnya.