Fenomena Guru PPPK Gugat Cerai di Blitar: Pakar UM Surabaya Soroti Perubahan Relasi Ekonomi

  • Home -
  • Article -
  • Fenomena Guru PPPK Gugat Cerai di Blitar: Pakar UM Surabaya Soroti Perubahan Relasi Ekonomi
Gambar Artikel Fenomena Guru PPPK Gugat Cerai di Blitar: Pakar UM Surabaya Soroti Perubahan Relasi Ekonomi
  • 24 Jul
  • 2025

Ilustrasi ibu-ibu guru (Istimewa)

Fenomena Guru PPPK Gugat Cerai di Blitar: Pakar UM Surabaya Soroti Perubahan Relasi Ekonomi

Fenomena mengejutkan terjadi di Blitar: dalam enam bulan pertama tahun 2025, tercatat 20 guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mengajukan izin cerai. Angka ini melampaui total kasus sepanjang 2024 yang berjumlah 15. Menariknya, 75% gugatan diajukan oleh pihak istri, yang mayoritas adalah guru perempuan dengan masa pernikahan lebih dari lima tahun.

Fenomena ini menuai perhatian publik dan memantik berbagai tafsir sosial. Namun menurut Arin Setyowati, Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), ada faktor struktural yang patut dicermati lebih dalam yakni kemandirian finansial perempuan.

“Sebelum diangkat menjadi PPPK, banyak guru perempuan ini adalah tenaga honorer dengan penghasilan minim. Kini, setelah pendapatan meningkat hingga Rp2,5 sampai Rp4,5 juta per bulan dengan status kerja lebih stabil, mereka punya posisi tawar baru termasuk dalam pernikahan,” ungkap Arin Kamis (24/7/25)

Namun, perubahan finansial ini tak selalu diiringi penyesuaian relasi dalam rumah tangga. Dalam banyak kasus, sang suami bekerja di sektor informal atau berpenghasilan lebih rendah. Ketimpangan ini memicu ketegangan, terutama ketika istri juga harus menanggung beban ganda: menjadi pencari nafkah sekaligus pengelola rumah tangga.

Profesi guru itu menuntut energi besar mengajar, menyusun administrasi, tugas tambahan di luar kelas. Jika di rumah juga tidak mendapat dukungan atau pembagian peran yang adil, kelelahan fisik dan mental bisa berujung konflik,” tambah Arin.

Data di berbagai daerah menunjukkan pola serupa. Di Cianjur, dari 32 ASN yang mengajukan cerai pada semester awal 2025, 27 di antaranya adalah perempuan. Di Wonogiri, dari 20 ASN yang bercerai, mayoritas juga guru. Arin menyebut, meningkatnya penghasilan bukanlah penyebab perceraian, tetapi justru membuka jalan untuk mengambil keputusan yang selama ini tertunda.

“Bukan soal istri yang lupa diri setelah mapan, tapi karena relasi rumah tangga gagal beradaptasi dengan perubahan ekonomi. Uang bukan biang konflik, melainkan katalis yang memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan dalam relasi,” ujarnya.

Melihat tren ini, Arin mendorong pemerintah daerah dan institusi pendidikan untuk tidak tinggal diam. Ia menyarankan adanya program konseling pranikah dan pascanikah khusus ASN/PPPK, pelatihan manajemen keuangan keluarga, hingga penguatan nilai-nilai keluarga sakinah.

Masyarakat juga perlu mengubah cara pandang terhadap perempuan yang memilih bercerai setelah mapan.

“Jangan buru-buru menyalahkan. Kita harus memahami akar persoalan, ketidaksetaraan peran, beban ganda, dan komunikasi yang buruk dalam rumah tangga,” tutupnya.