Dosen UMSurabaya Soroti Potensi Masalah dalam Kebijakan Elpiji 3 Kg Berbasis NIK

  • Home -
  • Article -
  • Dosen UMSurabaya Soroti Potensi Masalah dalam Kebijakan Elpiji 3 Kg Berbasis NIK
Gambar Artikel Dosen UMSurabaya Soroti Potensi Masalah dalam Kebijakan Elpiji 3 Kg Berbasis NIK
  • 01 Sep
  • 2025

istimewa

Dosen UMSurabaya Soroti Potensi Masalah dalam Kebijakan Elpiji 3 Kg Berbasis NIK

Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pembelian elpiji 3 kilogram menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai tahun 2026 menuai perhatian dari kalangan akademisi. Fatkur Huda, dosen Perbankan Syariah Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), mengapresiasi niat pemerintah untuk menyalurkan subsidi energi secara lebih tepat sasaran, namun ia mengingatkan adanya sejumlah potensi dampak negatif yang perlu diantisipasi.

"Secara prinsip, tujuan kebijakan ini baik, yaitu memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, ada catatan kritis yang tidak bisa diabaikan, terutama terkait risiko eksklusi sosial dan teknis yang dapat merugikan masyarakat kecil," ujar Fatkur Senin (1/9/25)

Ia menguraikan lima poin penting yang perlu diperhatikan:

Pertama, Potensi Eksklusi Masyarakat Rentan, Fatkur menilai kebijakan ini berisiko mengecualikan kelompok masyarakat miskin yang berhak menerima subsidi, tetapi tidak tercatat secara akurat dalam Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN). 

“Keterbatasan akses administrasi, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), bisa membuat mereka kehilangan hak atas elpiji bersubsidi,”imbuhnya.

Kedua, kerumitan teknis dan administratif. Implementasi kebijakan berbasis NIK menuntut kesiapan sistem dan infrastruktur digital yang memadai. 

"Kita masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari kualitas data kependudukan, keterbatasan jaringan internet, hingga mesin validasi. Ini bisa memperlambat distribusi dan menyulitkan masyarakat kecil," jelasnya.

Ketiga, potensi keresahan sosial. Perubahan mekanisme pembelian elpiji dapat menimbulkan kebingungan dan resistensi di tengah masyarakat, khususnya kelompok yang sudah terbiasa dengan sistem lama. Tanpa sosialisasi yang intensif dan edukasi yang memadai, kebijakan ini justru bisa memunculkan keresahan atau bahkan praktik percaloan baru.

Keempat beban psikologis dan ekonomi.Fatkur juga menyoroti dampak psikologis yang bisa muncul. Kewajiban menunjukkan identitas setiap kali membeli LPG bisa menciptakan rasa tidak nyaman dan diskriminasi sosial bagi masyarakat miskin. Jika terjadi hambatan teknis, langsung berdampak pada kebutuhan dasar rumah tangga.

Sebagai alternatif, kata Fatkur pemerintah disarankan untuk memperkuat pengawasan distribusi di tingkat agen dan pangkalan, serta memperbaiki sistem subsidi tertutup berbasis kebutuhan rumah tangga. 

“Daripada menambah beban administratif, lebih baik fokus pada pengawasan distribusi dan edukasi publik,” pungkasnya.