Transaksi Digital Terhubung NIK, Ini Tanggapan Pakar Ekonomi UMSurabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Transaksi Digital Terhubung NIK, Ini Tanggapan Pakar Ekonomi UMSurabaya
Gambar Artikel Transaksi Digital Terhubung NIK, Ini Tanggapan Pakar Ekonomi UMSurabaya
  • 06 Agu
  • 2025

Istimewa

Transaksi Digital Terhubung NIK, Ini Tanggapan Pakar Ekonomi UMSurabaya

Pemerintah akan secara resmi meluncurkan Payment ID pada 17 Agustus 2025. Sistem ini akan menghubungkan seluruh transaksi digital mulai dari rekening bank, dompet elektronik, QRIS, hingga pinjaman online dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Transaksi yang terhubung tersebut dapat dipantau secara real-time oleh otoritas pajak, dan digadang-gadang menjadi lompatan besar menuju transparansi fiskal dan efisiensi sistem pembayaran nasional.

Namun demikian, muncul pertanyaan penting: Apakah kebijakan ini benar-benar akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan menghadirkan keadilan sosial? Ataukah justru menjadi bentuk pengawasan berlebihan yang berisiko membebani masyarakat?

Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Arin Setiyowati, menilai bahwa implementasi Payment ID memiliki dua sisi yang perlu dicermati secara kritis dan seimbang.

“Jangan dilihat semata-mata sebagai alat pemantauan pajak. Jika dirancang secara adil dan transparan, Payment ID justru dapat menjadi gerbang menuju inklusi keuangan,” ujar Arin Rabu (6/8/25)

Ekonomi digital Indonesia memang tengah berkembang pesat. Diperkirakan, nilai transaksi digital nasional akan mencapai USD 130 miliar pada 2025, dengan pertumbuhan rata-rata 19% per tahun. Dalam konteks ini, Payment ID berpotensi memperkuat kepercayaan investor, menutup celah transaksi ilegal, serta meningkatkan kualitas data ekonomi digital nasional.

Namun, rencana ini juga memunculkan kekhawatiran publik. Banyak masyarakat, terutama di media sosial, menyuarakan kecemasan bahwa semua transaksi akan langsung dikenai pajak.

Arin menekankan bahwa Payment ID dapat menjadi alat pemberdayaan ekonomi, bukan sekadar alat pungutan. Misalnya, data transaksi dapat membantu bank dan fintech dalam menilai kelayakan kredit pelaku UMKM, yang sebelumnya kesulitan mengakses pembiayaan karena ketiadaan riwayat transaksi resmi.

“Hal ini pernah diuji dalam penyaluran bantuan sosial non-tunai, di mana data transaksi digital membantu menyalurkan bantuan secara lebih tepat sasaran. Artinya, Payment ID bisa memberi manfaat balik kepada masyarakat,” jelas Arin.

Meski Bank Indonesia menyatakan bahwa sistem ini berbasis persetujuan pengguna (consent-based) dan sesuai dengan UU Perlindungan Data Pribadi, kekhawatiran terkait keamanan dan privasi data tetap tinggi. Terlebih dengan berbagai kasus kebocoran data di sektor publik yang sempat terjadi.

“Negara akan memegang basis data keuangan yang sangat sensitif. Tanpa pengawasan independen yang ketat, risiko penyalahgunaan tetap ada. Tanpa jaminan privasi yang kuat, kepercayaan publik akan sulit terbangun,” tambahnya.

Agar implementasi Payment ID berdampak positif dan tidak menimbulkan resistensi masyarakat, Arin menyarankan tiga hal penting:

Pertama, implementasi bertahap dan edukasi publik. Pemerintah harus menjalankan kebijakan ini secara bertahap dan dibarengi sosialisasi yang intensif. Masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua transaksi otomatis dikenai pajak. Fokus pemantauan sebaiknya diarahkan ke pelaku ekonomi besar dan penghindar pajak, bukan transaksi rumah tangga.

Kedua batas nilai transaksi. Diperlukan batas nilai minimum transaksi sebelum data digunakan untuk tujuan perpajakan, agar pelaku UMKM dan penerima remitansi tidak terbebani.

Ketiga, manfaat balik untuk rakyat. Penggunaan data dari Payment ID seharusnya diarahkan untuk memberikan manfaat nyata, seperti akses kredit murah, subsidi yang adil, atau program bantuan sosial yang lebih tepat sasaran.

Menurut Arin, Payment ID adalah kebijakan dengan potensi ganda—mampu memperkuat ekonomi digital, namun juga dapat menjadi alat kontrol yang menimbulkan resistensi jika tidak dikelola dengan baik.

“Negara harus menunjukkan keberpihakan yang jelas—yakni melindungi kelompok kecil dan rentan, sekaligus menindak tegas penghindaran pajak berskala besar. Hanya dengan kebijakan yang inklusif dan transparan, Payment ID bisa menjadi infrastruktur bersama yang adil dan aman bagi semua warga negara,” pungkas Arin.