 
                            Istimewa
Publik kembali dibuat resah setelah laporan terbaru mengungkapkan besarnya dana milik pemerintah daerah yang justru mengendap di rekening bank. Padahal, dana tersebut seharusnya menggerakkan ekonomi lokal dan memperkuat pelayanan publik.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga September 2025 total dana pemerintah daerah yang mengendap di bank mencapai Rp 233,97 triliun. Dana ini sebagian besar tersimpan dalam bentuk giro, disusul deposito dan tabungan.
Menanggapi hal ini, Arin Setyowati, Ekonom Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), menilai bahwa fenomena tersebut mencerminkan dua persoalan struktural serius dalam pengelolaan ekonomi daerah.
“Pertama, efektivitas penyerapan anggaran daerah masih sangat rendah,” jelas Arin Rabu (29/10/25)
“Data Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) menunjukkan realisasi belanja daerah nasional hingga Agustus 2025 baru sekitar 51,46% dari total pagu APBD. Bahkan di beberapa daerah, realisasinya hanya mencapai 30% dari target.”
Kondisi ini, lanjut Arin, menyebabkan uang yang seharusnya berputar di masyarakat justru tertahan di bank. Akibatnya, efek pengganda (multiplier effect) dari belanja publik tidak berjalan optimal.
Persoalan kedua adalah hilangnya peluang untuk memperkuat sektor riil.
“Ketika dana pemerintah tidak segera digerakkan, maka sektor-sektor seperti UMKM, pembangunan infrastruktur mikro, dan pemberdayaan ekonomi komunitas kehilangan suntikan likuiditas,” tambahnya.
Secara makro, lemahnya realisasi belanja pemerintah daerah juga dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Data menunjukkan bahwa hingga Maret 2025, realisasi belanja APBN baru mencapai Rp 620,3 triliun atau 17,1% dari pagu, dengan pertumbuhan belanja hanya naik 1,37% secara tahunan.
“Jadi, masalahnya bukan hanya karena ada dana yang mengendap,” tegas Arin,
Tetapi karena mekanisme manajemen kas dan prioritas belanja daerah belum diarahkan ke kegiatan yang produktif, inklusif, dan berdampak langsung ke masyarakat.
Untuk mengatasi persoalan ini, Arin menawarkan empat langkah strategis agar dana publik dapat segera bergerak dan memberi manfaat nyata bagi warga:
Pertama, Perkuat perencanaan dan percepat pelaksanaan belanja daerah. Pemerintah daerah perlu memiliki target penyerapan anggaran yang jelas, mempercepat proses lelang, serta menggunakan sistem monitoring keuangan berbasis digital agar kepala daerah bisa memantau realisasi kas secara harian.
Kedua, arahkan dana ke sektor produktif. Dana yang mengendap harus difokuskan untuk pembangunan infrastruktur lokal dan penguatan UMKM berbasis komunitas agar menciptakan efek berganda (multiplier effect) di daerah.
Ketiga, terapkan parameter dan insentif nasional. Pemerintah pusat melalui Kemendagri dan Kementerian Keuangan perlu menetapkan batas maksimal dana mengendap, memberikan insentif bagi daerah yang cepat menyerap anggaran, serta menegakkan audit publik atas simpanan kas daerah.
Keempat, dorong transparansi dan partisipasi publik. Data pengelolaan kas daerah sebaiknya dapat diakses publik agar masyarakat ikut melakukan pengawasan dan mendorong akuntabilitas.
Arin menegaskan, dana daerah yang “tidur” di bank sejatinya adalah potensi pembangunan yang terhenti.
“Jika dikelola secara cerdas, produktif, dan transparan, dana tersebut bisa menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan ekonomi lokal, memperkuat inklusi keuangan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tutupnya.
Menurutnya, di era ekonomi inklusif, paradigma pengelolaan anggaran daerah harus berubah dari sekadar menampung dana menjadi menggerakkan dana untuk rakyat, menuju pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Menurutnya, di era ekonomi inklusif, paradigma pengelolaan anggaran daerah harus berubah dari sekadar menampung dana menjadi menggerakkan dana untuk rakyat, menuju pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
(0) Comments