Istimewa
Belakangan ini jagat media sosial diramaikan oleh tren “S-Line” atau Sex Line, sebuah fenomena fiksi yang dipopulerkan oleh drama Korea. Dalam serial tersebut, muncul visualisasi garis merah di atas kepala seseorang sebagai simbol bahwa ia pernah melakukan hubungan intim. Meskipun hanya fiksi, tren ini memicu kekhawatiran banyak pihak, terutama terkait dampaknya terhadap nilai-nilai etika dan moral di masyarakat digital.
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) M. Febriyanto Firman Wijaya, menilai fenomena ini bukan sekadar hiburan kosong. Ia menyoroti bahwa tren tersebut bisa mengikis rasa malu (haya’) yang seharusnya menjadi mahkota kehormatan individu dalam Islam.
“Konsep garis merah ini, meskipun hanya fiktif, seolah memberi pembenaran bahwa aib seseorang bisa diumbar ke publik. Ini sangat berbahaya karena menormalisasi pelanggaran privasi dan membuka ruang bagi penghakiman sosial,” ujar Riyan Minggu (20/7/2025).
Menurutnya, media sosial yang semula ditujukan untuk menyebar kebaikan kini sering disalahgunakan untuk memamerkan hal-hal pribadi yang justru bisa merusak martabat seseorang. Ia menambahkan, dalam ajaran Islam, menjaga aib baik diri sendiri maupun orang lain adalah prinsip utama dalam membangun masyarakat yang bermartabat.
Dalam Surah Al-Hujurat Ayat 12, Allah SWT melarang umatnya untuk tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) dan ghibah (menggunjing), yang disamakan dengan tindakan memakan daging saudara yang sudah mati. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang dengan sengaja membuka dosa yang telah ditutupi Allah.
“Kalau di dunia nyata ada tanda seperti itu di atas kepala, bayangkan betapa mudahnya kita saling menghakimi tanpa tahu konteks, tanpa memahami perjuangan seseorang. Ini bisa melahirkan fitnah dan merusak hubungan sosial,” tegasnya.
Ia mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih bijak dalam berselancar di dunia maya. Media sosial, kata Riyan, seharusnya menjadi ruang untuk berdakwah, berbagi ilmu, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan, bukan untuk mengumbar atau menikmati aib orang lain.
“Jangan biarkan algoritma menjadikan kita terbiasa pada hal-hal yang mengikis nurani. Mari jaga diri, jaga saudara kita, dan jaga marwah kehidupan di era digital ini,” pungkasnya.
(0) Komentar