Tangkapan Layar Tik-Tok
Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Holy Ichda Wahyuni menyebut kasus seorang guru yang meminta siswa menggambar alat kelamin dalam pelajaran Biologi memang dapat menimbulkan kontroversi, apalagi dalam masyarakat yang masih menganggap edukasi seksual sebagai hal tabu.
Namun, Holy menegaskan penting untuk melihat konteks, pendekatan, dan tujuan dari pembelajaran tersebut secara objektif sebelum memberikan penilaian apalagi reaksi yang berlebihan terhadap sang guru.
“Saya melihat isi kolom komentar sedikit miris, sebab akhirnya banyak tudingan dengan kata-kata tidak senonoh terhadap guru tersebut, seperti mohon maaf guru porno, guru sangean, itu kan sangat miris. Dari sini, sebenarnya siapa yang lebih layak dianggap sebagai pelaku pelecehan seksual? Sang guru, atau mereka yang menghakimi,”ujar Holy Rabu (30/4/25)
Lebih jauh, kata Holy jika kita mau kaitkan dengan konteks pembelajaran. Permintaan menggambar alat kelamin dalam mata pelajaran Biologi sebenarnya merupakan bagian dari pendekatan visual untuk memahami anatomi tubuh manusia.
“Dalam ilmu biologi, memahami sistem reproduksi adalah bagian esensial kurikulum. Nah, jika situasinya guru menyampaikan ini secara ilmiah, edukatif, dan sesuai dengan usia perkembangan peserta didik, maka tindakan itu masuk dalam ranah pendidikan, bukan pelanggaran etika,”tegas Holy lagi.
Holy yang merupakan Dosen PGSD tersebut menjelaskan, dalam teori konstruktivis, dengan menggambar, siswa bukan hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga aktif membangun pemahaman mereka.
Dalam banyak budaya, pembicaraan tentang organ reproduksi manusia atau seksualitas khususnya alat kelamin, masih dianggap tabu. Padahal, tabu ini justru menyumbang pada minimnya literasi seksual di kalangan remaja.
“Ketertutupan informasi seringkali menyebabkan mereka mencari tahu dari sumber yang tidak kredibel atau terpapar pornografi lebih dini,”imbuhnya.
Menurutnya, dari perspektif filsafat kritis Paulo Freire, pendidikan seharusnya membebaskan dan menyadarkan manusia dari belenggu ketidaktahuan dan opresi kultural. Menjauhkan siswa dari pemahaman tubuhnya sendiri karena alasan "tabu" justru bisa menjadi bentuk penindasan pengetahuan.
“Edukasi seksual seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman moral, melainkan sebagai alat untuk menciptakan manusia yang sadar akan tubuh, batas, dan tanggung jawab,”tegasnya.
Terakhir Holy menegaskan, kasus seperti ini seharusnya menjadi pintu dialog, bukan langsung menjadi bahan penghakiman.
“Yang perlu dikritisi adalah metode penyampaiannya, apakah sesuai dengan kurikulum, usia siswa, serta pendekatan etika dan pedagogi yang baik,”pungkasnya.
(0) Komentar