Soal Santri Meninggal di Ponpes Kediri, Dosen UM Surabaya: Maskulinitas Toxic dan Relasi Kuasa

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Soal Santri Meninggal di Ponpes Kediri, Dosen UM Surabaya: Maskulinitas Toxic dan Relasi Kuasa
Gambar Artikel Soal Santri Meninggal di Ponpes Kediri, Dosen UM Surabaya: Maskulinitas Toxic dan Relasi Kuasa
  • 01 Mar
  • 2024

I-Stockphoto

Soal Santri Meninggal di Ponpes Kediri, Dosen UM Surabaya: Maskulinitas Toxic dan Relasi Kuasa

Kasus perundungan berujung kematian yang terjadi pada salah satu santri di Pondok Pesantren Al Hanifiyyah Kota Kediri Jawa Timur masih terus diperbincagkan hingga hari ini. Perundungan yang menyebabkan kematian tersebut telah menemukan babak baru. Polres Kota Kediri telah menetapkan 4 tersangka yang merupakan teman sesama santri dan juga kakak kelas korban yang sedang menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (Mts). 

Sri Lestari Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Surabaya turut angkat bicara. Tari mengatakan, perundungan yang ada di pesantren pada umumnya dianggap sebagai cara senior untuk mendisiplinkan junior. Namun, cara-cara yang digunakan termasuk menggunakan kekerasan adalah tanda dari perilaku toxic maskulinitas (maskulinitas beracun). 

“Dalam toxic maskulinitas, kekerasan antar sesama lelaki dianggap wajar, apalagi konteksnya terjadi dengan melibatkan senioritas,”ujar Tari Jumat (1/3/23)

Tari menegaskan, senior yang melakukan perundungan terhadap junior dengan tujuan mendisiplinkan disalahartikan sebagai sikap yang merepesentasikan kekuatan dan dominansi. 

“Perspektif itu gambaran maskulinitas beracun dalam budaya patriarki yang cenderung menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan antar lelaki adalah hal yang wajar dan laki-laki yang maskulin/kuat adalah laki-laki yang tahan terhadap kekerasan,”jelas Tari lagi. 

Menurutnya, jika perspektif maskulinitas terus dilanggengkan dengan pola-pola kekerasan antar senior kepada junior, tidak menutup kemungkinan bahwa kasus ini akan terulang kembali. 

“Pondok pesantren harus memiliki aturan yang jelas dan mendidik jika tujuannya untuk mendisiplinkan,”tegasnya.

Selanjutnya Tari juga menyebut, relasi kuasa tidak sehat menjadi sebab kekerasan tumbuh subur di ruang pendidikan. Menurutnya pada beberapa kasus yang lain pendidik di pesantren kerap ajarkan kekerasan dengan dalih disiplin dan menuntut kepatuhan yang mutlak dari santri.

“Pesantren harus menjadi ruang yang aman dalam mengenyam pendidikan. Relasi kuasa yang menjadi budaya di pesantren harus diubah, karena mendidik dengan kekerasan akan banyak berdampak pada hal-hal negatif, trauma, gangguan perkembangan otak dan sebagainya,”tegasnya.

Terakhir Tari mengatakan, publik seharusnya menuntut pesantren bukan malah menyalahkan orang tua korban.