Radius Setiyawan Akademisi (Dosen Kajian Budaya dan Media UM Surabaya)
Beberapa pekan terakhir, sejumlah kepala daerah mengeluarkan kebijakan kontroversial terkait penanganan anak-anak nakal dengan mengirim mereka ke barak militer. Kebijakan tersebut diterapkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Bupati Cianjur Mohamad Wahyu Ferdian, Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein, dan Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie.
Namun, kebijakan tersebut mendapat kritikan tajam dari berbagai akademisi, salah satunya Radius Setiyawan akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Menurut Radius langkah tersebut tidak sejalan dengan paradigma pendidikan dan justru berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak.
"Mengirim anak-anak nakal ke barak militer bukan solusi yang tepat. Terdapat tiga alasan utama mengapa kebijakan ini problematik dari sudut pandang pendidikan," ujar Radius Dosen Kajian Budaya dan Media pada Jumat (9/5/25)
Pertama, barak militer tujuannya jelas sangat berbeda dengan lembaga pendidikan anak. Tentara dilatih untuk memiliki fisik dan mental yang kuat melalui metode disiplin keras, termasuk bentakan dan hukuman fisik.
"Secara paradigmatik, logika kebijakan ini bermasalah. Pendidikan anak tidak seharusnya disamakan dengan pendidikan militer," tegasnya.
Kedua, jika sekolah dianggap belum mampu menghasilkan siswa yang berkarakter baik, maka langkah yang lebih tepat adalah memperbaiki kualitas sekolah tersebut, bukan menyerahkan anak-anak kepada lembaga militer yang memiliki tujuan berbeda jauh dari sekolah.
Ketiga, definisi "anak nakal" harus dipahami secara lebih komprehensif. Anak nakal bukan berarti tidak cerdas atau tidak punya potensi. Kenakalan harus dipandang sebagai gejala dari permasalahan yang lebih mendasar. Kata Radius, pengiriman anak ke barak militer tidak akan menyelesaikan akar masalah secara utuh.
Radius menekankan perlunya pendekatan pendidikan yang lebih konstruktif dan berbasis psikologi perkembangan anak.
"Intervensi pendidikan harus dilakukan secara sistematis, bukan dengan cara-cara instan yang justru dapat memperburuk kondisi anak,"tegasnya.
Menurut Radius, pendekatan militeristik berisiko menciptakan trauma bagi anak-anak yang ditempatkan di lingkungan disiplin ketat.
"Mereka tidak sedang berhadapan dengan musuh negara, melainkan anak-anak yang butuh bimbingan dan rehabilitasi psikologis. Pendekatan militeristik bisa menjadi bumerang jika tidak ditangani secara komprehensif," jelasnya.
Terakhir Radius, juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap program-program pencegahan kenakalan remaja berbasis pendidikan dan konseling.
"Jika pemerintah serius menangani kenakalan remaja, maka langkah yang harus ditempuh adalah memperkuat peran sekolah, keluarga, dan komunitas. Bukan dengan menerapkan sistem disiplin ala militer,"pungkas Radius.
(0) Komentar