Sertifikat Tanah 1961-1997 Diimbau Diubah Jadi Elektronik, Ini Kata Dosen UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Sertifikat Tanah 1961-1997 Diimbau Diubah Jadi Elektronik, Ini Kata Dosen UM Surabaya
Gambar Artikel Sertifikat Tanah 1961-1997 Diimbau Diubah Jadi Elektronik, Ini Kata Dosen UM Surabaya
  • 24 Mei
  • 2025

Istimewa

Sertifikat Tanah 1961-1997 Diimbau Diubah Jadi Elektronik, Ini Kata Dosen UM Surabaya

Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengimbau agar pemilik sertifikat tanah fisik terbitan tahun 1961 hingga 1997 segera memperbarui dokumen mereka ke bentuk digital atau Sertifikat Elektronik (Sertipikat-el). Imbauan ini disampaikan lantaran sertifikat tanah yang terbit pada periode tersebut umumnya belum memiliki peta kadastral sebagai informasi dasar yang penting dalam sistem pertanahan modern.

Menanggapi hal ini, Dedy Stansyah, Dosen Hukum Agraria Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), menjelaskan bahwa secara hukum, sertifikat tanah lama tersebut masih sah dan berlaku sebagai alat bukti kepemilikan hingga tahun 2026. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

“Dokumen-dokumen seperti Petok D, girik, petikan, atau bekas tanah adat lainnya masih dapat digunakan sebagai rujukan dalam proses pendaftaran tanah, namun tidak lagi sebagai bukti hak setelah 2026,” jelas Dedy Sabtu (24/5/25)

Menurut Dedy, digitalisasi sertifikat tanah ke bentuk elektronik sebenarnya merupakan bagian dari upaya pemerintah meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan pertanahan. Namun, ia menyoroti pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai penggunaan Sertipikat-el, mengingat tidak semua masyarakat Indonesia melek teknologi.

“Digitalisasi itu bagus, tapi kita juga harus peka terhadap realitas masyarakat. Jangan sampai perubahan ini justru membingungkan masyarakat, terutama yang belum memahami teknologi digital,” katanya.

Lebih lanjut, Dedy menekankan pentingnya aspek keamanan dalam pelaksanaan sertifikat elektronik. Ia mengingatkan bahwa sistem pertanahan elektronik harus memiliki perlindungan yang kuat dari ancaman kejahatan siber.

“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN, harus memastikan sistem keamanannya benar-benar kuat. Jangan sampai data kepemilikan bisa diretas oleh akun-akun anonim. Akses terhadap sertifikat juga harus dibatasi hanya kepada pihak yang berwenang,” ungkapnya.

Dedy juga mengingatkan soal perlunya sistem yang jelas mengenai alih waris jika pemilik sertifikat elektronik meninggal dunia. Selain itu, ia menyarankan adanya sistem pencadangan data secara berkala untuk mengantisipasi risiko kebocoran sistem atau bencana.

“Perlu ada backup data secara rutin. Jangan sampai informasi tanah hilang hanya karena kegagalan sistem. Ini semua demi menjaga hak-hak masyarakat atas tanah mereka,” pungkasnya.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Dedy berharap proses transformasi menuju sertifikat elektronik dilakukan secara hati-hati, bertahap, dan disertai edukasi publik yang masif agar tidak menimbulkan kebingungan atau kerugian di tengah masyarakat.