Istimewa
Fenomena ajakan patungan untuk membeli hutan yang ramai di media sosial usai banjir besar di Sumatera mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Gerakan yang dipelopori oleh Pandawara Group ini, menurut M. Febriyanto Firman Wijaya, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSURA), bukan sekadar bentuk kepedulian lingkungan, tetapi sebuah protes sosiologis yang mencerminkan kekecewaan publik terhadap negara.
Riyan menjelaskan bahwa ajakan “Beli Hutan” merupakan tanda adanya defisit kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam menjalankan kewajiban dasar, yakni menjaga dan melindungi sumber daya alam. Bencana banjir dan longsor yang terus berulang membuat masyarakat, terutama anak muda, merasa bahwa kerusakan ekologis telah mencapai titik kritis.
“Ketika mekanisme negara bergerak lambat dan sering terlihat condong pada kepentingan tertentu, masyarakat memilih mencari jalan sendiri,”ujar Riyan (10/12/25)
Kata Riyan gerakan mengumpulkan dana untuk membeli atau mengamankan lahan hutan yang terancam, menurutnya, adalah bentuk aksi kolektif warga. Aksi ini menyampaikan pesan keras bahwa publik sudah tidak bisa menunggu lebih lama, dan jika negara tak mampu bertindak sebagai pengawas yang efektif, maka masyarakat sendiri yang harus mengambil alih peran tersebut.
“Konservasi alam yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara kini dipikul oleh masyarakat sipil melalui urunan dan solidaritas digital,”ujarnya.
Riyan menilai kondisi ini sebagai sebuah tamparan sosiologis bagi pemerintah. Ia menekankan bahwa respons negara tidak boleh berhenti pada kampanye penanaman pohon atau janji program singkat, tetapi membutuhkan pembenahan kebijakan secara mendasar.
“Selama ini, negara dinilai terlalu fokus pada penanggulangan bencana setelah kejadian, bukan pada pencegahan melalui penguatan ekosistem hutan. Kepentingan ekonomi jangka pendek, seperti ekspansi perkebunan besar dan pertambangan, kerap mengorbankan fungsi ekologis hutan yang vital,”imbuhnya.
Selain itu, masyarakat juga melihat adanya gejala regulatory capture, di mana kebijakan dan perizinan dianggap lebih memihak pada kepentingan korporasi dibanding kepentingan ekologis.
“Ketika warga harus patungan untuk membeli kembali tanah yang seharusnya dilindungi negara, itu menunjukkan bahwa tata kelola lahan berada dalam situasi darurat,”tegasnya.
Menurut Riyan, pemerintah perlu menunjukkan keseriusan melalui langkah-langkah nyata yang dapat memulihkan kepercayaan publik. Izin-izin konsesi yang berada di kawasan rawan bencana perlu ditinjau ulang secara terbuka.
Penegakan hukum lingkungan harus dilakukan tanpa pandang bulu sehingga memberikan efek jera bagi pelaku kerusakan ekologis. Pelibatan masyarakat juga menjadi kunci penting; gerakan seperti “Beli Hutan” harus dipandang sebagai mitra dalam pengawasan dan bukan sebagai pihak yang menyaingi negara.
Terakhir Riyan menegaskan bahwa masalah lingkungan adalah masalah sosial.
“Gerakan “Beli Hutan” menunjukkan bahwa publik ingin menyelamatkan lingkungan, namun mereka juga menuntut negara untuk kembali menegakkan kepercayaan melalui kebijakan yang adil, transparan, dan berpihak pada kelestarian jangka Panjang,”pungkasnya.
(0) Komentar