Istimewa
Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Holy Ichda Wahyuni, mengingatkan bahwa game daring dengan unsur kekerasan seperti Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) berpotensi memengaruhi perilaku dan psikologis anak-anak maupun remaja.
Menurut Holy, anak merupakan individu yang sangat visual dan memiliki kecenderungan kuat untuk meniru perilaku yang mereka lihat.
“Dalam teori Social Learning dari Albert Bandura, anak belajar melalui proses observasi dan peniruan (modeling). Ketika melihat karakter dalam game memperoleh ‘reward’ seperti kemenangan atau poin setelah melakukan kekerasan, anak bisa meniru perilaku itu dan menganggapnya wajar,” jelasnya Rabu (12/11/25)
Ia menambahkan, paparan jangka panjang terhadap game semacam ini tanpa pendampingan dapat menimbulkan desensitisasi emosional, yaitu menurunnya empati dan meningkatnya toleransi terhadap kekerasan.
Lebih lanjut, Holy menuturkan bahwa tidak semua anak akan terpengaruh dengan kadar yang sama. Faktor lingkungan keluarga, perkembangan kognitif, dan kualitas relasi sosial-emosional berperan besar dalam hal ini.
“Anak yang tidak memiliki figur teladan positif di rumah lebih rentan meniru perilaku agresif di media. Apalagi pada masa pencarian jati diri, mereka bisa melihat game seperti PUBG sebagai sarana untuk merasa diterima dan berprestasi,” ujarnya.
Ia membandingkan fenomena ini dengan tren masa kecil seperti Power Rangers, ketika anak-anak gemar meniru adegan heroik yang mereka tonton. “Bedanya, dalam game anak bukan hanya penonton, tapi pelaku aktif yang mengendalikan karakter. Maka pengaruhnya secara psikologis tentu lebih besar,” tambahnya.
Terkait wacana pelarangan game semacam PUBG, Holy menilai langkah tersebut hanya efektif sebagai solusi sementara. Ia menekankan pentingnya pendekatan edukatif dan pendampingan yang berkelanjutan.
“Yang perlu dibangun bukan sekadar larangan, tapi dialog kritis tentang nilai moral, empati, dan konsekuensi dari tindakan dalam dunia maya. Literasi digital perlu ditanamkan agar anak bisa membedakan antara realitas dan fantasi,” tegasnya.
Holy juga menyoroti peran keluarga dan lembaga pendidikan dalam membentuk budaya bermain yang sehat. Menurutnya, orang tua tidak cukup hanya membatasi waktu bermain anak, tetapi juga perlu memahami isi dan nilai yang dibawa oleh game.
“Orang tua harus aktif berdialog dengan anak. Dalam riset saya, konsep ini saya sebut parent collaborative dengan pengasuhan empatik,” jelasnya.
Di sisi lain, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam menanamkan literasi digital dan literasi emosional. Sekolah, kata Holy, dapat mengajarkan siswa untuk berpikir kritis terhadap konten digital, memahami etika bermedia, dan mengenali konsekuensi sosial dari perilaku online.
Menutup penjelasannya, Holy mengutip teori ekologi perkembangan Urie Bronfenbrenner, yang menyebut bahwa anak tumbuh dalam berbagai sistem yang saling berinteraksi—keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial.
“Maka, membentuk budaya bermain yang sehat perlu sinergi lintas sistem. Sekolah sebagai pusat literasi digital, orang tua sebagai pendamping moral, dan pemerintah sebagai penyedia regulasi yang melindungi anak dari paparan konten berisiko,” ungkapnya.
Holy juga mendorong adanya integrasi pendidikan karakter digital dalam kurikulum sekolah, pelatihan digital parenting bagi orang tua, serta pengawasan ketat terhadap rating usia dan konten game oleh pemerintah.
“Jika semua sistem bekerja bersama, kita bukan hanya membatasi dampak negatif game, tetapi juga memanfaatkan potensinya untuk membangun generasi digital yang cerdas dan berempati,” pungkasnya.
(0) Komentar