Psikolog UMSurabaya: Cuaca Panas di Surabaya Picu Emosi dan Turunkan Produktivitas

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Psikolog UMSurabaya: Cuaca Panas di Surabaya Picu Emosi dan Turunkan Produktivitas
Gambar Artikel Psikolog UMSurabaya: Cuaca Panas di Surabaya Picu Emosi dan Turunkan Produktivitas
  • 15 Okt
  • 2025

Sumber foto : Kumparan

Psikolog UMSurabaya: Cuaca Panas di Surabaya Picu Emosi dan Turunkan Produktivitas

Gelombang panas yang melanda Surabaya dalam beberapa hari terakhir tidak hanya membuat tubuh kelelahan, tetapi juga memengaruhi kestabilan emosi masyarakat. Suhu udara di Kota Pahlawan tercatat mencapai 37 derajat Celsius, dan kondisi ini berpotensi meningkatkan stres serta menurunkan produktivitas.

Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Marini, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa suhu udara yang tinggi memiliki korelasi dengan peningkatan stres dan agresivitas.

“Banyak penelitian menunjukkan bahwa ketika suhu udara naik, tingkat agresivitas manusia ikut meningkat. Di jalan raya orang lebih cepat membunyikan klakson, di rumah percakapan kecil bisa berubah jadi perdebatan, dan di tempat kerja suasana cepat memanas bukan karena masalah besar, tapi karena tubuh dan pikiran sedang lelah menghadapi tekanan cuaca yang tak terlihat,” jelas Marini, Rabu (15/10).

Menurutnya, panas ekstrem membuat energi manusia terbagi dua: sebagian untuk berpikir dan sebagian lagi untuk bertahan dari suhu tinggi. Akibatnya, produktivitas menurun, kesabaran menipis, dan toleransi berkurang.


“Otak bekerja lebih lambat karena sibuk mengatur suhu tubuh, bukan mengolah emosi. Maka jangan heran kalau pada hari-hari panas, banyak orang merasa ‘tidak seperti dirinya sendiri’,” tambahnya.

Marini juga menyoroti dampak cuaca panas terhadap kualitas tidur malam hari. Tidur yang seharusnya menjadi waktu pemulihan justru terganggu karena tubuh berkeringat dan otak tetap aktif.

“Tidur yang dangkal membuat seseorang lebih mudah marah, cemas, dan kehilangan motivasi keesokan harinya,” ujarnya.

Dalam perspektif psikologi, kemampuan seseorang untuk beradaptasi terhadap tekanan lingkungan dikenal dengan istilah coping. Marini menekankan bahwa coping dalam situasi panas ekstrem bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga bentuk latihan kesadaran diri.


“Kita tidak bisa mengendalikan suhu udara, tetapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya,” katanya.

Ia menyarankan masyarakat untuk menenangkan diri melalui langkah-langkah sederhana seperti memperbanyak istirahat, membatasi paparan panas, menjaga pola makan, dan memberi waktu untuk diam.


“Kadang, diam sebentar di bawah kipas sambil menarik napas panjang jauh lebih menyembuhkan daripada terus berlari di tengah panas dunia yang riuh,” tutur Marini.

Menutup penjelasannya, Marini mengingatkan pentingnya membangun “kesejukan sosial” di tengah suhu kota yang kian panas.

“Kota yang panas bisa membuat warganya tegang. Maka tugas kita bukan hanya mencari ruang ber-AC, tapi juga menciptakan kesejukan lewat empati, sapaan lembut, dan kesabaran kecil yang kita tabur di tengah gerahnya hari,” pungkasnya.