Istimewa
Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menuai sorotan dari kalangan akademisi.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, menilai Soeharto tidak layak mendapat gelar kehormatan tersebut karena rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan praktik korupsi yang terjadi selama pemerintahannya.
“Kalau dilihat dari sejarah, sangat tidak layak yang bersangkutan menjadi pahlawan,” kata Satria, Sabtu (31/5/2025).
Ia menyebut sejumlah peristiwa kelam seperti Tragedi Talangsari, Tragedi Petrus serta kekerasan negara terhadap masyarakat sipil selama era Orde Baru sebagai dasar penilaiannya.
Menurutnya, sejarah mencatat jutaan korban jiwa akibat kebijakan represif pemerintahan Soeharto. Selain itu, Soeharto juga dinilai bertanggung jawab atas krisis politik dan ekonomi, termasuk kerusuhan Mei 1998 dan lepasnya Timor Timur dari Indonesia.
“Bahkan ada International People’s Tribunal (IPT) yang pernah menyidangkan kasus pelanggaran HAM era Soeharto. Ini tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Satria juga menyoroti gurita kekuasaan keluarga Cendana yang mendapatkan konsesi bisnis besar selama Orde Baru, yang menurutnya memperparah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ia menyebut bahwa meski terdapat pencapaian seperti kemandirian pangan, hal tersebut dibangun di atas fondasi kebijakan yang sarat utang luar negeri dan penyimpangan kekuasaan.
“Masalah korupsi dan beban utang menjadi faktor utama runtuhnya ekonomi pada 1998. Ini juga menjadi bagian dari pertimbangan ketidaklayakan,” kata Satria.
Ia mengingatkan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional harus melalui pertimbangan etis dan historis yang ketat, bukan semata-mata karena jasa tertentu atau tekanan politik.
“Apalagi saat ini Presiden Prabowo adalah mantan menantu Soeharto. Ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan dan preseden buruk jika tokoh yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM justru diberi gelar pahlawan,” tegasnya.
Satria meminta Kementerian Sosial dan Dewan Gelar di Istana untuk mempertimbangkan suara masyarakat sipil secara serius dalam proses ini. Ia berharap negara tidak mengabaikan nilai-nilai reformasi dan penegakan HAM yang diperjuangkan sejak 1998.
Sebelumnya, Kementerian Sosial membentuk tim ad hoc yang terdiri dari ahli sejarah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk mengkaji sejumlah usulan gelar pahlawan nasional, termasuk untuk Soeharto. Tim tersebut akan menggelar sidang awal Juni sebelum menyerahkan hasil kajian kepada Menteri Sosial dan diteruskan ke Dewan Gelar di Istana.
(0) Komentar