Polemik Sound Horeg Diharamkan Ulama, Akademisi UM Surabaya Berikan Tanggapan

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Polemik Sound Horeg Diharamkan Ulama, Akademisi UM Surabaya Berikan Tanggapan
Gambar Artikel Polemik Sound Horeg Diharamkan Ulama, Akademisi UM Surabaya Berikan Tanggapan
  • 06 Jul
  • 2025

Istimewa

Polemik Sound Horeg Diharamkan Ulama, Akademisi UM Surabaya Berikan Tanggapan

Fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg yang dikeluarkan salah satu pondok pesantren di Pasuruan dan didukung oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan pro dan kontra, tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai hukum Islam, budaya, dan dinamika sosial.

Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya, M. Febriyanto Firman Wijaya, turut memberikan tanggapan terhadap isu tersebut. Ia menilai, pelarangan sound horeg sebaiknya tidak dipandang secara hitam-putih, melainkan perlu dikaji secara komprehensif dari berbagai perspektif.

Sound horeg bukan semata soal kebisingan, tapi juga bagian dari ekspresi budaya dan seni yang hidup dalam masyarakat. Pelarangan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai ini bisa menjadi keputusan yang tidak seimbang,” ujar Riyan Minggu (6/7/25)

Menurutnya, dalam kajian hukum Islam, prinsip dasar menyatakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya boleh hingga ada dalil kuat yang mengharamkannya. Ia merujuk pada kaidah “al-aṣlu fī al-ashyā' al-ibāḥah ḥattā yadullu ad-dalīlu 'alā at-taḥrīm”, yang berarti segala sesuatu hukumnya mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

“Jadi, penting untuk bertanya: apakah ada dalil syar’i yang benar-benar kuat dan eksplisit untuk mengharamkan penggunaan sound horeg dalam konteks hiburan atau ekspresi publik?” tegasnya.

Lebih jauh, Riyan juga mengingatkan agar kebijakan pelarangan ini tidak mengabaikan potensi dampak sosial. Ia mempertanyakan, apakah pelarangan tersebut justru akan memicu ketegangan sosial, terutama di kalangan masyarakat yang menjadikan sound horeg sebagai bagian dari tradisi atau sarana hiburan.

“Kita harus menghindari pendekatan yang ekstrem. Solusi terbaik adalah melalui dialog antara pesantren, MUI, dan masyarakat, agar tidak terjadi perpecahan,” ujarnya.

Ia mengajak semua pihak untuk bersikap moderat dan arif dalam menyikapi polemik ini. Bagi Riyan, pelarangan semacam ini sebaiknya bukan hanya berbasis pada pertimbangan normatif, tetapi juga memperhatikan dinamika budaya lokal dan aspirasi masyarakat.

“Kita butuh pendekatan yang tidak hanya normatif, tapi juga kontekstual dan humanis. Jangan sampai fatwa menjadi alat pemisah antara nilai agama dan budaya yang sebenarnya bisa bersinergi,” pungkasnya.

Polemik sound horeg saat ini seolah menjadi potret dari tantangan hidup berdampingan dalam masyarakat yang beragam. Mencari titik temu antara kebebasan berekspresi, nilai keagamaan, dan harmoni sosial adalah pekerjaan rumah bersama yang perlu terus diupayakan.