Pemkot Surabaya Berlakukan Jam Malam untuk Anak, Pengamat UM Surabaya Ingatkan Risiko Pendekatan Represif

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Pemkot Surabaya Berlakukan Jam Malam untuk Anak, Pengamat UM Surabaya Ingatkan Risiko Pendekatan Represif
Gambar Artikel Pemkot Surabaya Berlakukan Jam Malam untuk Anak, Pengamat UM Surabaya Ingatkan Risiko Pendekatan Represif
  • 23 Jun
  • 2025

Istimewa

Pemkot Surabaya Berlakukan Jam Malam untuk Anak, Pengamat UM Surabaya Ingatkan Risiko Pendekatan Represif

Pemerintah Kota Surabaya resmi memberlakukan kebijakan jam malam bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun. Melalui Surat Edaran yang diteken Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pada Jumat (20/6/2025), anak-anak yang masih berada di luar rumah setelah pukul 22.00 WIB akan langsung diamankan oleh petugas, sementara orang tua mereka akan dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban.

Langkah ini diambil sebagai bentuk pencegahan terhadap kenakalan remaja dan demi menjaga keamanan lingkungan. Namun, kebijakan tersebut menuai catatan kritis dari kalangan akademisi.

Pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya(UM Surabaya), Holy Ichda Wahyuni, menyatakan bahwa ia mengapresiasi adanya upaya preventif tersebut. Namun, meski kebijakan ini dilatarbelakangi niat baik sebagai upaya preventif, ada sejumlah aspek yang perlu ditinjau lebih dalam dari sudut pandang pendidikan.

"Secara sosial kita bisa memahami niat baik dari regulasi ini, di tengah banyaknya fenomena kenakalan remaja dan kriminalitas anak. Namun, jika pendekatannya sekadar menanamkan larangan dan pembatasan, tanpa adanya pendekatan yang sifatnya edukatif dan ruang dialog kultural berbasis kesadaran, maka ini berisiko menjadi instrumen represif, bukan transformatif," ujar Holy yang juga dosen PGSD UM Surabaya.

Menurutnya, pendidikan karakter yang berkelanjutan lahir dari otonomi dan kesadaran, bukan dari paksaan. Ia menyoroti pentingnya menciptakan kultur kesadaran bersama, bukan ketakutan.

“Larangan jam malam saja tidak cukup. Apakah ini solusi substansial atau sekadar respons permukaan? Apalagi kita tahu, pelanggaran dan kekerasan terhadap anak bisa saja terjadi di dalam rumah, oleh orang terdekat,” jelasnya.

Holy juga menggarisbawahi pentingnya pembangunan ekosistem sosial yang lebih inklusif dan ramah anak. Pemerintah bisa lebih fokus dalam penyediaan ruang aman untuk kegiatan malam, transportasi publik ramah anak, serta sistem perlindungan bagi keluarga rentan.

“Lagipula, masyarakat kita plural. Tidak semua keluarga punya ritme hidup yang sama. Sehingga akan sulit jika diberlakukan pendekatan one size fits all,” ujarnya.

Lebih jauh, Holy menegaskan bahwa dalam perspektif pendidikan, anak harus dilibatkan sebagai subjek aktif, bukan hanya objek yang dikontrol. Pemahaman terhadap aturan harus dibangun melalui dialog dan partisipasi, bukan sekadar larangan.

“Anak seyoganya tidak hanya diajari untuk patuh, tetapi juga diajak memahami mengapa aturan itu penting. Itulah esensi dari pendidikan sejati,” pungkasnya.