Sumber foto : KOMPAS/STEPHANUS ARANDITIO
Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, untuk mewajibkan siswa membuat resensi buku kembali mencuatkan diskusi penting tentang budaya literasi di Indonesia.
Sri Lestari Pakar Pendiidkan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) mengatakan, kebijakan ini patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa pemerintah serius menangani masalah darurat literasi yang selama ini menjadi sorotan nasional.
Namun, Tari menyebut di balik gagasan baik tersebut, terdapat sejumlah persoalan mendasar yang perlu diperhatikan agar kebijakan ini tidak sekadar menjadi formalitas atau tugas administratif semata.
“Agar benar-benar efektif, kebijakan ini harus didukung oleh ekosistem yang kuat mulai dari ketersediaan buku berkualitas, pengembangan literasi guru, hingga pembentukan budaya apresiasi di sekolah,”ujarnya Senin (24/11/25)
Lebih lanjut kata Tari, membuat resensi bukanlah tugas sederhana. Kegiatan ini menuntut kemampuan analisis, evaluasi, dan argumentasi keterampilan tingkat tinggi dalam literasi. Sementara itu, banyak siswa masih menghadapi kesulitan memahami teks panjang secara mendalam. Tanpa dukungan yang tepat, kebijakan ini berpotensi membuat siswa dengan kemampuan baca rendah semakin tertekan dan merasa tertinggal.
“Karena itu, kewajiban membuat resensi perlu diiringi dengan pendampingan literasi dasar, pemantauan kemampuan membaca siswa, dan pembelajaran bertahap tentang cara menyusun resensi yang baik,”ujarnya.
Di sisi lain, persoalan ketersediaan buku juga perlu menjadi perhatian utama. Banyak sekolah, terutama di daerah pinggiran atau sekolah negeri kecil, masih jauh dari standar ketersediaan buku yang layak. Koleksi buku sering kali usang, jumlahnya terbatas, atau tidak relevan dengan perkembangan usia dan kebutuhan siswa.
“Jika pemerintah ingin mewajibkan resensi, maka tanggung jawab menyediakan buku berkualitas juga harus berjalan seiring baik melalui pengadaan buku fisik, pembaruan perpustakaan, maupun penyediaan akses buku digital secara merata,”imbuhnya.
Kebijakan ini diharapkan mampu memperpendek kesenjangan literasi antara sekolah yang kaya sumber daya dan sekolah yang minim fasilitas.
Tari juga menjelaskan, selain siswa, guru juga memegang peran penting dalam keberhasilan kebijakan ini. Pengembangan literasi guru melalui program membaca, workshop penulisan resensi, atau bahkan insentif publikasi menjadi elemen kunci yang tak boleh diabaikan.
Kata Tari, faktanya, banyak guru menghadapi beban administrasi yang berat dan jam mengajar yang padat, sehingga waktu untuk membaca, menulis, dan meneliti sangat terbatas. Padahal, budaya literasi guru akan berpengaruh langsung terhadap minat membaca siswa. Karena itu, kebijakan literasi siswa sebaiknya berjalan beriringan dengan kebijakan penguatan literasi guru.
Lebih jauh, kewajiban membuat resensi akan lebih bermakna jika sekolah juga membangun ekosistem apresiasi. Resensi bukan hanya tugas yang dikumpulkan, tetapi karya yang dapat dihargai.
Sekolah dapat menghidupkan kembali majalah dinding atau majalah sekolah, mengadakan pameran karya resensi siswa, atau membuat sesi diskusi buku antar kelas. Dengan begitu, kegiatan literasi menjadi bagian dari budaya sekolah, bukan sekadar rutinitas akademik.
“Pada akhirnya, kebijakan mewajibkan siswa membaca dan membuat resensi merupakan langkah penting untuk memperkuat budaya literasi. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan ekosistem pendukung perpustakaan yang memadai, guru yang literat, kurikulum yang terintegrasi, dan kemampuan dasar siswa yang diperkuat. Tanpa itu semua, kebijakan ini berisiko tidak mencapai tujuannya,”tegasnya.
Terakhir Tari menegaskan, membangun budaya literasi tidak dapat dilakukan dengan instruksi semata, melainkan melalui ekosistem yang memungkinkan siswa dan guru bertumbuh bersama.
“Jika ekosistem ini dibangun dengan serius, kewajiban membuat resensi tidak hanya akan meningkatkan kemampuan membaca dan menulis siswa, tetapi juga dapat menjadi tonggak penting dalam membentuk generasi pembelajar di masa depan,”pungkasnya.
(0) Komentar