Pemerintah Resmi Terbitkan Aturan Ayah Antar Anak ke Sekolah, Ini Kata Pakar UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Pemerintah Resmi Terbitkan Aturan Ayah Antar Anak ke Sekolah, Ini Kata Pakar UM Surabaya
Gambar Artikel Pemerintah Resmi Terbitkan Aturan Ayah Antar Anak ke Sekolah, Ini Kata Pakar UM Surabaya
  • 15 Jul
  • 2025

Istimewa

Pemerintah Resmi Terbitkan Aturan Ayah Antar Anak ke Sekolah, Ini Kata Pakar UM Surabaya

Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Republik Indonesia (Kemendukbangga/BKKBN) menerbitkan 'Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah. 

Baru-baru ini fenomena ayah yang mengantar anak ke sekolah atau sekadar mengambil peran dalam rutinitas pengasuhan kerap menjadi pemandangan langka yang disorot dengan antusias. Hal tersebut disampaikan oleh Holy Ichda Wahyuni Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). 

“Sebagai pemerhati anak, saya tentu mengapresiasi setiap bentuk keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak. Di tengah padatnya tuntutan kerja dan beban peran gender yang masih kaku, kehadiran ayah yang terlibat langsung patut diberi ruang apresiasi. Namun di sisi lain, perlu kita renungkan bersama, mengapa hal yang seharusnya menjadi praktik keseharian justru menjadi peristiwa “heboh” yang layak viral?,”ujar Holy Dosen PGSD UM Surabaya Selasa (15/7/25)

Kata Holy apresiasi tidak boleh menutupi fakta bahwa “kehebohan” ini adalah cerminan masih lemahnya praktik pengasuhan ayah di banyak keluarga. Dalam kajian sosiologi keluarga, konsep ini sejalan dengan perspektif new fatherhood yang menekankan pentingnya kehadiran ayah bukan hanya sebagai penyedia nafkah, tetapi juga pemberi kehangatan emosional. 

“Ketika kehadiran ayah hanya sesekali dan jadi momen istimewa, maka ini tanda bahwa kesetaraan peran pengasuhan belum sepenuhnya tercapai,”ujarnya. 

Lebih lanjut Holy menjelaskan, konstruksi sosial budaya masih mendikte peran ayah sebagai figur jarak jauh, yang hadir “saat diperlukan saja”. Pembagian kerja gender tradisional sering menempatkan ibu sebagai primary caregiver sedangkan ayah sebagai secondary caregiver. Pola ini menghasilkan ketimpangan peran yang berimbas pada relasi anak-ayah yang kurang hangat dan cenderung formal. 

“Jadi, sorotan media atau publik pada aksi “ayah antar anak” justru memperlihatkan bagaimana peran natural ayah sebagai caregiver belum terinternalisasi sebagai budaya harian. Apalagi ditambah dengan embel-embel aturan. Ini sangat menggelitik,”imbuhnya. 

Namun, tentu kita tidak bisa sekadar menguliti peranan ayah semata. Struktur kerja yang maskulin, budaya jam kerja panjang, hingga stereotip sosial yang mengecilkan figur ayah pengasuh, semuanya turut andil membatasi peran ayah. Untuk itu, perlu ada upaya bersama membangun kesadaran bersama di ranah keluarga, institusi kerja, dan kebijakan publik agar keterlibatan ayah tidak berhenti pada simbol seremonial. Penghargaan memang penting, tetapi normalisasi peran ayah pengasuh jauh lebih mendasar.

Akhirnya, mari kita maknai setiap momen ayah yang terlibat sebagai awal, bukan akhir. Menjadi ayah bukan hanya hadir di pagi hari untuk mengantar anak, tetapi juga hadir dalam dialog batin anak, kelekatan emosi, dan penguatan karakter. 

“Dengan memperluas praktik fathernitas, kita tidak hanya merayakan satu momen, tetapi membangun kultur keluarga yang setara dan hangat, di mana ayah dan ibu benar-benar setara dalam cinta dan tanggung jawab,”pungkasnya.