Dede Nasrullah Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UMSurabaya
Kasus dugaan keracunan makanan yang menimpa puluhan siswa di Kalimantan Barat kembali memicu pertanyaan publik tentang kelayakan konsumsi daging hiu, terutama bagi anak-anak. Sebanyak 24 siswa dan 1 guru dari SD Negeri 12 Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, dilaporkan menjadi korban keracunan setelah menyantap menu Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Menanggapi hal ini, Pakar Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Dede Nasrullah, memberikan penjelasan terkait bahaya yang terkandung dalam daging hiu.
“Daging hiu menyimpan sejumlah senyawa berbahaya yang bisa berdampak serius pada kesehatan, terlebih bagi anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan,” ujar Dede Sabtu (27/9/25)
Dede menjelaskan, salah satu racun utama dalam daging hiu adalah metilmerkuri, senyawa beracun yang terbentuk dari akumulasi polutan industri di laut. Metilmerkuri dikenal sebagai salah satu racun paling aktif secara biologis dan dapat menumpuk dalam tubuh manusia.
“Kandungan merkuri dalam hiu bahkan yang tertinggi dibanding ikan lain, bisa mencapai 14 ppm. Dampaknya sangat luas, mulai dari kerusakan sistem saraf pusat, penyakit kardiovaskular, penurunan kesuburan pria, hingga penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer,” paparnya.
Lebih jauh, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UMSurabaya tersebut menekankan bahwa pada anak-anak, kandungan merkuri bisa mengganggu perkembangan otak. Akibatnya, kemampuan bahasa, memori, konsentrasi, hingga motorik halus dapat terganggu.
Selain merkuri, hiu juga diketahui menyimpan arsenik dari mangsa yang mereka buru.
“Arsenik sangat berbahaya karena dapat merusak paru-paru, kulit, dan jika masuk ke aliran darah dapat memicu pertumbuhan sel kanker. Bahkan, kandungan arsenik tertinggi justru ada pada bagian sirip, yang sering dianggap sebagai makanan istimewa,” ungkapnya.
Penelitian dari ilmuwan Southern Cross University, Australia, juga menemukan kadar arsenik pada berbagai spesies hiu yang jauh melebihi batas aman konsumsi. Rekomendasi ilmuwan tersebut tegas: sebisa mungkin hindari konsumsi daging hiu.
Selain merkuri dan arsenik, daging hiu juga mengandung urea dalam jumlah tinggi. Urea merupakan limbah nitrogen yang dikeluarkan melalui kulit hiu dan berfungsi menjaga keseimbangan tubuh mereka di air asin. Meski non-toksik pada kadar tertentu, tingginya kadar urea membuat daging hiu kurang layak dikonsumsi.
Tak berhenti di situ, studi yang dipublikasikan dalam Tropical Conservation Science (2013) juga mengungkapkan bahwa daging hiu mengandung kadar timbal yang tinggi. Penelitian terhadap berbagai spesies hiu di Samudra Pasifik menunjukkan semua spesimen terkontaminasi timbal, dengan risiko berbahaya mulai dari sakit kepala, kejang, hingga kematian.
“Semakin besar dan tua seekor hiu, semakin tinggi akumulasi timbal dalam tubuhnya. Karena itu, konsumsi daging hiu apalagi dari spesies besar atau bagian organ dalamnya sangat berisiko,” tambah Dede.
Kasus keracunan di Kalbar menjadi alarm serius bagi program makanan sekolah. Dede menegaskan bahwa penyediaan menu sehat untuk anak-anak harus mempertimbangkan aspek keamanan bahan pangan.
“Anak-anak sebaiknya tidak dijadikan ‘korban percobaan’ bahan pangan berisiko tinggi. Pemerintah perlu memperhatikan standar keamanan makanan agar kasus serupa tidak terulang,” pungkas Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan tersebut.
(0) Komentar