Pakar Hukum UMSurabaya Soroti Bebas Bersyarat Setya Novanto: Belum Penuhi Rasa Keadilan Publik

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Pakar Hukum UMSurabaya Soroti Bebas Bersyarat Setya Novanto: Belum Penuhi Rasa Keadilan Publik
Gambar Artikel Pakar Hukum UMSurabaya Soroti Bebas Bersyarat Setya Novanto: Belum Penuhi Rasa Keadilan Publik
  • 21 Agu
  • 2025

Setya Novanto (Setnov) Terpidana kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) kini dinyatakan bebas bersyarat. (Istimewa)

Pakar Hukum UMSurabaya Soroti Bebas Bersyarat Setya Novanto: Belum Penuhi Rasa Keadilan Publik

Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi memperoleh bebas bersyarat setelah menjalani sekitar sepertiga masa hukuman dari vonis 12 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Meski demikian, langkah ini menuai kritik dari sejumlah kalangan, termasuk akademisi hukum.

Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana, menilai pembebasan bersyarat ini tidak sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan masyarakat. 

“Kalau dibandingkan dengan kerugian keuangan negara yang sangat besar, vonis terhadap Setya Novanto jelas belum memenuhi keadilan publik. Apalagi, kerugian negara hanya dikembalikan sekitar 7,2 juta dolar AS, jumlah yang jauh lebih kecil dibanding total kerugian,” ujar Satria Kamis (21/8/25)

Menurut Satria, kasus korupsi Setya Novanto memiliki pola sophisticated corruption, yaitu melibatkan banyak yurisdiksi karena dana hasil korupsi diduga dialirkan ke berbagai negara melalui skema pencucian uang. 

“Dalam kasus seperti ini, seharusnya sanksi tidak hanya sebatas pidana badan, tetapi juga fokus pada pemulihan aset atau asset recovery. Konvensi PBB Antikorupsi yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU Nomor 7 Tahun 2006 menekankan pentingnya pengembalian aset negara,” jelasnya.

Satria menekankan bahwa upaya pemulihan aset seharusnya tidak berhenti pada individu Setya Novanto semata, tetapi juga menyasar jejaring keluarga dan pihak lain yang diduga ikut menikmati hasil korupsi. 

“Ada prinsip pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang. Artinya, semua harta yang dimiliki, termasuk istri dan anak-anaknya, harus bisa dibuktikan bukan berasal dari korupsi. Jika tidak, maka aset itu semestinya dikembalikan ke negara,” ujarnya.

Ia juga menyoroti adanya celah hukum yang memungkinkan Setya Novanto kembali berpolitik di masa depan.

 “Pidana tambahan berupa larangan beraktivitas di dunia politik hanya berlaku sekitar 2,5 tahun setelah bebas murni. Artinya, pada 2031 ia bisa saja kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau pengurus partai. Ini harus jadi perhatian,” tambahnya.

Lebih jauh, Satria menyinggung adanya dugaan keterlibatan keluarga dalam aliran dana korupsi, termasuk kasus anak Setya Novanto yang memiliki saham dalam proyek pembangunan resort di Pulau Padar. 

“Ini menunjukkan pentingnya penelusuran aliran dana secara komprehensif. Kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun mustahil dijalankan sendirian. Ada jejaring terorganisir yang seharusnya diusut tuntas,” pungkasnya.