Pakar Hukum UMSurabaya Kritik Sweeping Buku oleh Polisi: “Mencederai Kebebasan Akademik”

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Pakar Hukum UMSurabaya Kritik Sweeping Buku oleh Polisi: “Mencederai Kebebasan Akademik”
Gambar Artikel Pakar Hukum UMSurabaya Kritik Sweeping Buku oleh Polisi: “Mencederai Kebebasan Akademik”
  • 19 Sep
  • 2025

Istimewa

Pakar Hukum UMSurabaya Kritik Sweeping Buku oleh Polisi: “Mencederai Kebebasan Akademik”

Publik dikejutkan dengan langkah Polda Jawa Barat yang memamerkan sejumlah buku sebagai barang bukti dalam kasus kericuhan aksi demonstrasi di Bandung. Dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025), polisi menyebut beberapa buku yang disita memuat teori anarkisme dan diduga menjadi referensi literasi bagi massa aksi anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat.

Fenomena ini menuai kritik dari pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana. Ia menilai praktik sweeping buku oleh aparat merupakan langkah mundur yang mengingatkan pada praktik otoriter masa lalu.

“Fenomena sweeping buku ini bukan hal baru. Pada masa lalu, militer juga melakukan hal serupa terhadap buku-buku yang dianggap berhaluan kiri dengan dalih mengajarkan Marxisme atau Leninisme. Kini, polisi melanjutkan pola itu. Ini langkah yang memalukan, kalau bisa dibilang konyol,” ujar Satria Jumat (19/9/25)

Menurutnya, buku apapun isinya, baik kiri, kanan, ekstrem maupun moderat tetaplah sumber ilmu pengetahuan. Justru, membaca dan mendiskusikan buku adalah tanda bahwa peradaban masyarakat tumbuh.

“Mahasiswa, pelajar, atau masyarakat yang membaca buku lalu menjadi kritis hingga berani berdiskusi atau melakukan demonstrasi, itu seharusnya dirayakan sebagai tanda sehatnya demokrasi. Bukan justru ditakuti lalu dipidanakan,” tegasnya.

Satria mempertanyakan dasar hukum aparat menjadikan buku sebagai barang bukti pidana. Ia mengingatkan, tanpa kajian serius dan objektif, langkah itu justru dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan.

“Apakah aparat betul-betul membaca dan memahami isi buku dari awal hingga akhir, atau sekadar menjadikan sampul dan judul sebagai simbol untuk menakut-nakuti? Kalau seperti itu, ini bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi pengetahuan,” tambahnya.

Ia juga menyinggung kekhawatiran yang kerap disuarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengenai kembalinya praktik gaya Orde Baru, di mana kebebasan akademik dibungkam melalui pelarangan buku dan pembatasan diskursus kritis.

“Kebebasan akademik harus dijaga. Buku tidak bisa dijadikan alat bukti untuk memidanakan seseorang hanya karena bacaan mereka membuatnya kritis. Kalau praktik sweeping ini dibiarkan, kita berisiko mengulang normalisasi gaya lama seperti era NKK/BKK di masa Orde Baru,” ujarnya.

Dekan Fakultas Hukum tersebut menegaskan, aparat keamanan seharusnya mengembalikan ruang kebebasan akademik, bukan justru mempersempitnya dengan sikap anti-ilmu pengetahuan.