Pakar Hukum UMSurabaya: Kasus Noel Harus Jadi Peringatan Pejabat Gemar Pencitraan Publik

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Pakar Hukum UMSurabaya: Kasus Noel Harus Jadi Peringatan Pejabat Gemar Pencitraan Publik
Gambar Artikel Pakar Hukum UMSurabaya: Kasus Noel Harus Jadi Peringatan Pejabat Gemar Pencitraan Publik
  • 25 Agu
  • 2025

ANTARA FOTO

Pakar Hukum UMSurabaya: Kasus Noel Harus Jadi Peringatan Pejabat Gemar Pencitraan Publik

Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) mengatakan, kasus Immanuel Ebenezer Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) menunjukkan betapa culasnya pejabat publik di tengah situasi perekonomian yang tidak menentu.

"Ekonomi ini artinya tidak hanya pekerja ya, termasuk pengusaha yang kemudian diperas, sehingga kemudian barang yang disita oleh KPK ini luar biasa banyak, deretan mobil mewah, motor mewah, dan aset-aset yang diduga dari hasil pemerasan," katanya, pada Minggu (24/8/2025).

Hal tersebut, kata dia, sekaligus menunjukkan bahwa masih ada pejabat yang ketika di depan publik seolah-olah melindungi rakyat, tapi ketika di belakang sangat culas.

"Karena Ebenezer membangun citra populis dengan gaya blusukannya ke perusahaan-perusahaan, termasuk yang ada di Surabaya dan di berbagai wilayah, yang dalihnya, front stage-nya, adalah membela buruh, tapi ternyata di sana terjadi pemerasan, kalau di kasusnya terkait dengan sertifikat kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang perusahaan di Jakarta Selatan," jelasnya.

Ia memandang, fenomena korupsi Immanuel Ebenezer tidak mengejutkan, tapi memprihatinkan. Pejabat dengan gaya populis menurutnya bisa mengaburkan fakta bahwa pejabat dianggap baik jika melakukan pencitraan.

"Ternyata pemimpin-pemimpin populis atau pemerintahan yang populis itu juga menyimpan satu masalah serius, termasuk praktik korupsi dan tidak transparan. Hal ini dibuktikan dengan apa yang terjadi di Ebenezer atau mungkin pejabat-pejabat lain yang mungkin belum ketahuan atau yang sudah ketahuan mengenai kasus korupsi," ujarnya.

Meski saat ini berada di era digital, dan pejabat harus mengisi ruang digital tersebut, namun ia menegaskan bahwa kerja nyata harus lebih banyak daripada pencitraannya.

"Ini menjadi preseden buruk. Kita perlu simak bagaimana KPK untuk meraih aktor-aktor yang mungkin aktor dibaliknya, termasuk intellectual daader," ucapnya.

Ia juga mengatakan bahwa Ebenezer memiliki catatan politik yang dianggap kutu loncat, yakni dari Ketua Jokowi Mania ke Prabowo Mania. Dengan situasi politik uncertain seperti itu, ia memandang adanya politik yang dibangun atas dasar pragmatisme, bukan terhadap ide atau cita-cita besar dalam membangun negara.

"Sehingga ini menjadi pembelajaran publik, dan kita mendorong agar KPK terus kuat, walaupun kita tahu KPK di masa-masa akhir ini juga cukup berat karena situasinya dia di bawah kekuasaan Presiden. Tapi kita percaya bahwa KPK dapat bekerja secara independen dan mengejar aktor-aktor yang terlibat dalam kasus korupsi ini," ucapnya.

Satria menyampaikan tiga hal terkait fenomena tersebut. Pertama, soal Undang-Undang 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Pasal 12 e, f, g terkait pemerasan.

Jika kasus tersebut terkait uang, kata dia, maka masuk pada Pasal 12 e dari Undang-Undang Tipikor yang berkaitan dengan pemotongan, pemungutan biaya yang tidak disepakati. Sedangkan f, terkait dengan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri sipil yang disalahgunakan. Serta g, terkait hasil pekerjaan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa yang seolah-olah hutang.

"Kalau dilihat, entah nanti konstruksi hukumnya seperti apa oleh KPK di dalam penetapan status tersangka ini, apakah menggunakan Pasal 12 e, f, g untuk Ebenezer," jelasnya.

Seperti diketahui, Immanuel Ebenezer ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat K3 di lingkungan Kemnaker. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lainnya.