Kasus Dugaan Pencabulan di Pesantren Sumenep, Dosen UM Surabaya: Saatnya Refleksi dan Pembenahan Sistemik

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Kasus Dugaan Pencabulan di Pesantren Sumenep, Dosen UM Surabaya: Saatnya Refleksi dan Pembenahan Sistemik
Gambar Artikel Kasus Dugaan Pencabulan di Pesantren Sumenep, Dosen UM Surabaya: Saatnya Refleksi dan Pembenahan Sistemik
  • 17 Jun
  • 2025

Shutterstock

Kasus Dugaan Pencabulan di Pesantren Sumenep, Dosen UM Surabaya: Saatnya Refleksi dan Pembenahan Sistemik

Sebuah peristiwa memilukan kembali mengguncang dunia pendidikan keagamaan di Indonesia. Seorang pengasuh pondok pesantren di Sumenep, Madura, diduga melakukan pencabulan terhadap santri di bawah asuhannya. Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan seksual di institusi pendidikan, khususnya yang berbasis keagamaan.

Holy Ichda Wahyuni Pemerhati Anak Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) menyebut, tragedi ini tidak hanya mengoyak nurani masyarakat, tetapi juga menjadi alarm keras untuk meninjau kembali sistem yang ada di dalam lembaga pesantren. 

“Tanpa bermaksud menggeneralisasi atau merusak kepercayaan terhadap institusi pesantren yang selama ini banyak berjasa dalam mendidik anak bangsa kasus semacam ini menuntut refleksi sistemik dan langkah-langkah konkret demi perlindungan anak-anak,”ujar Holy Selasa (17/6/25)

Kata Holy, diakui atau tidak, dalam praktik keseharian, posisi pengasuh pesantren seringkali menempati hierarki tertinggi, baik secara sosial maupun spiritual. Relasi kuasa antara pengasuh dan santri sangat timpang. Banyak santri memandang pengasuh tidak sekadar sebagai guru, tetapi juga sebagai figur spiritual yang patut ditaati sepenuhnya. 

“Dalam kondisi seperti ini, keberanian untuk menyuarakan ketidaknyamanan menjadi sangat kecil, bahkan nyaris mustahil,”imbuhnya. 

Lebih jauh, kekerasan seksual di lingkungan pesantren tidak bisa dilepaskan dari akar sistem patriarki yang masih kuat. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai otoritas tunggal, dan sering kali menciptakan budaya tabu yang membungkam suara korban. Tak jarang, para korban justru menghadapi stigma ketika mencoba melaporkan kekerasan yang mereka alami.

“Ironisnya, dalam beberapa kasus, pelaku bahkan memanipulasi ayat-ayat atau narasi keagamaan untuk membungkam korban. Doktrin tentang kesabaran, ketaatan, atau penghormatan terhadap ulama dipelintir sedemikian rupa, sehingga batas antara pengasuhan dan penyalahgunaan kuasa menjadi kabur,”tegasnya. 

Menghadapi situasi ini, pesantren-pesantren di Indonesia perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk memperkuat sistem perlindungan anak. Salah satunya dengan membangun mekanisme pelaporan yang aman, rahasia, dan berpihak pada korban. Edukasi tentang hak anak dan perlindungan dari kekerasan seksual juga harus menjadi bagian dari kurikulum, dengan pendekatan yang sesuai nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi martabat manusia.

Tak kalah penting, para pengasuh dan pendidik pesantren harus dibekali pelatihan rutin mengenai etika pengasuhan, kesadaran gender, serta pencegahan kekerasan berbasis relasi kuasa. Pesantren juga bisa menjalin kemitraan dengan pemerintah, Kementerian Agama, lembaga perlindungan anak, dan organisasi masyarakat sipil dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bermartabat.

Holy yang juga Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) mengatakan, upaya perbaikan ini bukan semata-mata demi citra institusi, melainkan merupakan tanggung jawab moral dan spiritual untuk memastikan bahwa pesantren benar-benar menjadi tempat yang suci, mendidik, dan melindungi.

Meski insiden memilukan seperti ini terjadi, perlu ditekankan bahwa masih banyak pesantren di Indonesia yang telah mengimplementasikan pendidikan yang inklusif, humanis, dan berlandaskan nilai-nilai Islam seperti kasih sayang, keadilan, dan amanah. Namun, kenyataan bahwa kekerasan bisa terjadi di ruang manapun, termasuk institusi keagamaan, menuntut kita untuk bersikap jujur dan waspada, bukan menutup mata demi menjaga reputasi.

“Kasus di Sumenep ini harus menjadi momentum untuk perubahan menyeluruh dalam sistem pendidikan pesantren. Hanya dengan komitmen bersama, kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali dan masa depan anak-anak dapat dijaga sepenuhnya,”pungkasnya.