Heboh Video Editan Kaum LGBT Berhaji, Akademisi UM Surabaya Beri Tanggapan

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Heboh Video Editan Kaum LGBT Berhaji, Akademisi UM Surabaya Beri Tanggapan
Gambar Artikel Heboh Video Editan Kaum LGBT Berhaji, Akademisi UM Surabaya Beri Tanggapan
  • 24 Mei
  • 2025

Istimewa

Heboh Video Editan Kaum LGBT Berhaji, Akademisi UM Surabaya Beri Tanggapan

Jagat maya Indonesia kembali dihebohkan oleh sebuah unggahan kontroversial dari akun Instagram @pixelhelper yang menampilkan visualisasi Ka'bah dengan individu-individu berbusana warna-warni seperti Pelangi yang diasosiasikan dengan simbol komunitas LGBT. Konten yang diduga merupakan hasil manipulasi digital ini memicu perdebatan sengit di media sosial, terutama di kalangan masyarakat Muslim.

Unggahan tersebut dianggap banyak pihak sebagai bentuk penistaan terhadap simbol suci umat Islam, sementara sebagian lainnya melihatnya sebagai bentuk ekspresi identitas dan kritik sosial. Di tengah hiruk-pikuk kontroversi ini, Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), M. Febriyanto Firman Wijaya, memberikan pandangan yang lebih mendalam terhadap fenomena tersebut.

Menurut Riyan, unggahan itu bukan sekadar konten provokatif, melainkan sebuah artefak digital yang mengandung makna kompleks. Ia menilai bahwa visualisasi tersebut menggambarkan bagaimana simbol-simbol keagamaan bisa direkontekstualisasi dalam ruang digital, khususnya di era kecerdasan buatan yang berkembang pesat.

“Ka'bah, sebagai salah satu simbol paling sakral dalam Islam, dalam visual itu dijadikan latar bagi ekspresi identitas yang secara tradisional dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan,” ungkapnya Sabtu (24/5/25)

Ia menambahkan bahwa konflik makna yang muncul dari visualisasi ini tidak bisa dielakkan, sebab bagi mayoritas umat Muslim, gambar tersebut bisa dipandang sebagai tindakan yang melukai kesucian agama.

Namun, dari perspektif lain, Riyan menjelaskan bahwa kelompok LGBT yang identik dengan warna pelangi bisa saja melihat ini sebagai bentuk klaim ruang, ekspresi eksistensial, atau bahkan bentuk protes terhadap diskriminasi yang sering mereka alami dalam komunitas keagamaan.

Ia menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “pop-up religion” bentuk ekspresi keagamaan yang lahir di ruang digital dan sering menantang tatanan keagamaan tradisional. 

“Kini siapa pun bisa menciptakan narasi keagamaan sendiri secara visual dan performatif. Estetika warna-warni dan gaya teatrikal menjadi cara untuk menarik perhatian dan menyampaikan pesan dalam lautan informasi digital,” jelasnya. 

Lebih lanjut, ia menyoroti keberadaan keterangan dalam unggahan yang menyebut "glitter makeover pada Quran" sebagai indikasi bagaimana elemen populer dan modern dicampurkan dengan simbol-simbol keagamaan. Ia menilai frasa ini mungkin bersifat metaforis, namun tetap menambah dimensi kontroversial dari unggahan tersebut.

Riyan menggarisbawahi bahwa fenomena semacam ini menimbulkan tantangan baru bagi otoritas keagamaan. 

“Siapa yang berhak menentukan batas-batas kesucian dan tafsir agama di era digital yang nyaris tanpa batas ini?” ujarnya. 

Sebagai penutup, ia menyebut unggahan tersebut sebagai “sebuah studi kasus kaya” yang mencerminkan kompleksitas interaksi antara agama, identitas, dan teknologi modern. Menurutnya, memahami kejadian semacam ini membutuhkan pendekatan multidisipliner bukan hanya dari sisi teologi, tetapi juga dari perspektif sosiologis, komunikasi, dan teknologi informasi.