Fenomena Fotografer di Event Lari dan Sepeda, Ini Kata Akademisi UMSurabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Fenomena Fotografer di Event Lari dan Sepeda, Ini Kata Akademisi UMSurabaya
Gambar Artikel Fenomena Fotografer di Event Lari dan Sepeda, Ini Kata Akademisi UMSurabaya
  • 05 Nov
  • 2025

Istimewa

Fenomena Fotografer di Event Lari dan Sepeda, Ini Kata Akademisi UMSurabaya

Di tengah maraknya tren olahraga massal seperti lari dan bersepeda, muncul pula fenomena baru yang tak kalah menarik: menjamurnya fotografer yang mendokumentasikan para peserta di ruang publik. Sebagian dari mereka adalah fotografer resmi, namun banyak pula yang beroperasi secara independen dan kerap disebut sebagai “fotografer ngamen”.

Menurut M. Febriyanto Firman Wijaya, dosen dan sosiolog Universitas Muhammadiyah Surabaya, fenomena ini bukan sekadar tren visual, melainkan representasi dari pergeseran budaya dan ekonomi di ruang publik digital.

“Kehadiran fotografer di event olahraga menunjukkan adanya kebutuhan sosial yang tinggi terhadap dokumentasi momen personal. Fotografer kini berfungsi sebagai agen legitimasi aktivitas lari dan sepeda, yang tidak hanya dipandang sebagai olahraga, tetapi juga sebagai aktivitas leisure yang layak dipamerkan,” ujarnya Rabu (5/11/25)

Fenomena tersebut, lanjut Riyan, memiliki dua sisi. Dari sisi positif, fotografer berperan dalam membangun komunitas dan memperkuat motivasi sosial untuk hidup sehat. Namun, dari sisi negatif, praktik ini sering kali bersinggungan dengan isu privasi dan etika digital.

“Masalah muncul ketika praktik dokumentasi ini bergesekan dengan hak privasi dan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Penggunaan teknologi seperti face recognition tanpa persetujuan yang jelas bisa menjadi bentuk invasi komersial terhadap ruang pribadi,” jelasnya.

Ia menilai, fenomena ini memunculkan konflik sosiologis antara dua hak yang sama-sama sah: hak fotografer untuk berekspresi dan mencari nafkah, serta hak individu untuk mengontrol citra dirinya.

Menurut Febriyanto, ketertarikan masyarakat untuk didokumentasikan saat berolahraga tidak berdiri sendiri. Ada tiga faktor sosial utama yang berperan: Pertama Gaya hidup sehat sebagai modal sosial Kesehatan kini menjadi simbol status dan modal sosial baru. 

“Memposting foto lari atau bersepeda adalah cara menunjukkan disiplin, kesadaran diri, dan bahkan kemapanan waktu dan sumber daya,” jelasnya.

Kedua, eksistensi diri dan self-branding. Dalam masyarakat konsumsi, identitas dibangun melalui citra. Foto candid saat berolahraga menjadi bentuk impression management untuk menampilkan diri yang bersemangat dan sukses.

Ketiga, pengaruh media sosial Platform seperti Instagram dan TikTok berfungsi sebagai “panggung dramaturgi” tempat individu menampilkan kehidupan ideal. 

“Keberhasilan seseorang kini diukur bukan hanya dari garis finis, tetapi dari seberapa estetik momen itu ditangkap dan diapresiasi secara digital,” tambahnya.

Fenomena ini, kata Riyan, mencerminkan “budaya pamer” (show-off culture) yang difilter melalui logika ekonomi perhatian (attention economy), di mana perhatian dan interaksi digital menjadi komoditas baru.

Secara akademis, Febriyanto menilai tren ini sebagai bentuk ekspresi diri digital yang produktif secara ekonomi, namun ambivalen secara sosial dan berisiko bagi privasi.

“Ketika setiap gerakan lari dicari dan dijual, ekspresi otentik berubah menjadi pertunjukan berbayar. Subjek cenderung menampilkan citra ideal ketimbang menikmati aktivitas itu sendiri,” paparnya.

Di sisi lain, dokumentasi visual juga memiliki fungsi positif. Ia memperkuat motivasi kolektif dan menjadi arsip digital personal (digital heritage) yang merekam pencapaian hidup seseorang.

“Fenomena ini adalah pedang bermata dua, seseorang produktif dalam menciptakan nilai ekonomi dan mendorong gaya hidup sehat, tapi sekaligus menantang fondasi privasi dan etika di ruang publik yang semakin terdigitalisasi.”pungkasnya.