Dosen UMSURA: Penolakan Uang Berpotensi Timbulkan Ketidakadilan Sosial

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Dosen UMSURA: Penolakan Uang Berpotensi Timbulkan Ketidakadilan Sosial
Gambar Artikel Dosen UMSURA: Penolakan Uang Berpotensi Timbulkan Ketidakadilan Sosial
  • 23 Des
  • 2025

Tangkapan Layar Tik-Tok

Dosen UMSURA: Penolakan Uang Berpotensi Timbulkan Ketidakadilan Sosial

Kasus seorang nenek yang ditolak membayar menggunakan uang tunai di sebuah gerai roti baru-baru ini menuai perhatian publik. Peristiwa tersebut dinilai mencerminkan masih rendahnya pemahaman sebagian pelaku usaha terhadap aturan alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Dosen Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Fatkur Huda, menegaskan bahwa uang tunai atau rupiah tetap merupakan alat pembayaran yang sah dan wajib diterima dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas melarang setiap pihak menolak pembayaran menggunakan rupiah, kecuali jika terdapat keraguan terhadap keaslian uang tersebut,” ujar Fatkur Selasa (23/12/25)

Fatkur menjelaskan, pelaku usaha yang menolak pembayaran tunai dapat dikenai sanksi pidana berupa kurungan paling lama satu tahun serta denda maksimal Rp200 juta. Ketentuan ini, lanjutnya, dibuat untuk melindungi hak masyarakat dalam bertransaksi dan memastikan kedaulatan rupiah tetap terjaga.

Di sisi lain, ia mengakui bahwa Bank Indonesia terus mendorong perluasan sistem pembayaran non-tunai seperti kartu debit, kartu kredit, uang elektronik, mobile banking, internet banking, BI-FAST, hingga QRIS. Bahkan, pada tahun 2025, transaksi QRIS tercatat tumbuh hingga 148,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan meningkatnya adopsi transaksi digital di masyarakat.

Namun demikian, Fatkur mengingatkan bahwa tidak semua masyarakat memiliki kemampuan dan akses yang sama terhadap layanan keuangan digital. Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dirilis OJK dan BPS, indeks literasi keuangan nasional tercatat sebesar 66,46 persen, sementara inklusi keuangan mencapai 80,51 persen.

“Angka ini memang menunjukkan peningkatan, tetapi kesenjangan masih nyata, terutama di wilayah pedesaan. Kelompok usia lanjut dan remaja juga masih memiliki tingkat literasi digital yang relatif rendah,” jelasnya.

Menurutnya, kondisi tersebut menegaskan bahwa uang tunai masih sangat dibutuhkan oleh sebagian masyarakat. Penolakan terhadap pembayaran tunai berpotensi menutup akses kelompok tertentu untuk bertransaksi dan pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan sosial.

Fatkur menekankan bahwa digitalisasi pembayaran memang penting untuk mendorong efisiensi ekonomi nasional, namun penerapannya harus dilakukan secara inklusif. Pelaku usaha, kata dia, seharusnya tetap menyediakan opsi pembayaran tunai sebagai bentuk kepatuhan hukum sekaligus empati sosial.

“Kemajuan teknologi seharusnya mempermudah kehidupan masyarakat, bukan justru menyulitkan. Pembayaran tunai dan digital perlu berjalan berdampingan agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat ekonomi modern tanpa kehilangan hak dasarnya sebagai pengguna rupiah,” pungkasnya.