Istimewa
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Khoirul Anam, menanggapi polemik yang melanda salah satu program tayangan Trans7 tentang fenomena sosial di lingkungan pesantren. Tayangan tersebut memicu kegaduhan di masyarakat, khususnya di kalangan santri, hingga muncul seruan untuk memboikot stasiun televisi tersebut.
Menurut Khoirul, inti persoalan bukan sekadar pada benar atau salahnya substansi tayangan, melainkan pada cara media menjalankan komunikasi publik bagaimana media merepresentasikan dan nilai etika sosial dijaga.
“Masalahnya muncul ketika disajikan melalui framing yang bias. Media memilih menonjolkan sisi negatif secara sensasional tanpa memberikan konteks sosial dan keagamaan yang utuh,” jelas Khoirul pada Kamis (16/10/25)
Ia menilai pola representasi semacam itu berpotensi mereduksi kompleksitas dan peran penting pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Lebih lanjut, Khoirul menegaskan bahwa kebebasan pers harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab etis sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. Ia menilai ada dugaan pelanggaran terhadap prinsip dasar seperti akurasi, keberimbangan, dan penghormatan terhadap nilai sosial serta agama.
“Jika media gagal melakukan klarifikasi atau menggunakan pengambilan gambar tanpa izin, itu bentuk kelalaian etis terhadap prinsip verifikasi dan fairness. Media seharusnya menjadi ruang edukatif, bukan dengan nada menghakimi.”ujarnya.
Aspek lain yang menjadi sorotan adalah gaya komunikasi presenter yang dinilai sarkastik dan merendahkan. Nada dan gestur yang berlebihan, menurutnya, justru mengubah isu serius menjadi hiburan yang menimbulkan luka sosial.
“Fakta tanpa kepekaan terhadap nilai agama dan sosial bisa memicu krisis kepercayaan publik,” tegasnya.
Khoirul juga melihat gerakan boikot dari kalangan santri sebagai bentuk kesadaran kritis dan literasi media di lingkungan pesantren.
“Ini ekspresi perlawanan terhadap cara komunitas mereka direpresentasikan secara tidak adil di ruang publik. Kritik boleh, asalkan disampaikan secara proporsional dan berbasis data,” ujarnya.
Ia menilai polemik ini menjadi cermin bagi semua pihak. Media perlu menyeimbangkan keberanian jurnalistik dengan kepekaan moral, sementara pesantren dapat menjadikannya momentum untuk memperbaiki tata kelola dan komunikasi eksternal.
“Yang paling penting sekarang adalah membangun dialog konstruktif. Media harus berkomitmen pada etika, empati, dan keberimbangan, sementara publik tetap kritis dan terbuka,” pungkasnya.
(0) Komentar