15 Siswa SMP Positif Narkoba, Sosiolog UMSurabaya: Ini Tanda Krisis Struktural di Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • 15 Siswa SMP Positif Narkoba, Sosiolog UMSurabaya: Ini Tanda Krisis Struktural di Surabaya
Gambar Artikel 15 Siswa SMP Positif Narkoba, Sosiolog UMSurabaya: Ini Tanda Krisis Struktural di Surabaya
  • 16 Nov
  • 2025

Istimewa

15 Siswa SMP Positif Narkoba, Sosiolog UMSurabaya: Ini Tanda Krisis Struktural di Surabaya

Kasus 15 siswa SMP di kawasan Jalan Kunti, Surabaya, yang dinyatakan positif narkoba menjadi tamparan keras bagi pemerintah dan masyarakat. Sosiolog Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), M. Febriyanto Firman Wijaya, menilai peristiwa ini bukan sekadar kenakalan remaja, tetapi mencerminkan krisis struktural yang membutuhkan intervensi kebijakan sosial yang lebih.

“Kasus ini adalah alarm serius. Penanganannya tidak cukup dengan pendekatan moralitas, tetapi membutuhkan perbaikan institusi dan lingkungan sosial secara menyeluruh,” tegas Riyan Minggu (16/11/25)

Menurut Riyan, akar persoalan terletak pada lingkungan sosial yang gagal berfungsi sebagai kontrol informal. Ia merujuk pada Teori Jendela Pecah (Broken Windows) yang menjelaskan bagaimana kehadiran pengedar dan bandar di kawasan Kunti membuat penyalahgunaan narkoba dianggap hal biasa oleh remaja.

Kondisi ekonomi yang sulit membuat banyak keluarga mengalami stres struktural, sehingga modal sosial mereka tergerus. Akibatnya, kelompok sebaya dengan pengaruh negatif mengambil alih peran sosialisasi dibanding keluarga.

“Ini bukan semata kegagalan keluarga. Lingkungan yang rusak membuat remaja rentan, dan komunitas kehilangan fungsi kontrol sosial,” jelasnya.

Program pencegahan narkoba di sekolah saat ini disebut masih menggunakan pendekatan lama seperti model D.A.R.E., yang terbukti kurang relevan dengan psikologi remaja di era digital.

Riyan menyebut remaja menghadapi fenomena anomie digital, tekanan cyberbullying, serta kebutuhan akan kepuasan instan yang membuat mereka mencari pelarian.

Ia menilai sekolah perlu menerapkan Resilience Training  kurikulum yang menekankan kemampuan mengatur diri (self-regulation), literasi digital kritis, dan keterampilan mengelola stres secara sehat.

Menurutnya, stigma justru memperburuk keadaan dan mengancam masa depan para siswa.

“Mereka korban. Tidak boleh dikeluarkan dari sekolah,” ujarnya.

Ia mengusulkan sekolah menerapkan Harm Reduction dengan membentuk Kelas Dukungan Pemulihan bagi siswa terpapar narkoba, agar hak pendidikan tetap terjamin.

Kasus ini, menurutnya, juga menunjukkan adanya ketimpangan sosial struktural, di mana remaja dari keluarga berpenghasilan rendah lebih rentan dijadikan target eksploitasi oleh pengedar.

Riyan mendorong transformasi peran pendidik dari figur disiplin menjadi sosok pendamping emosional yang suportif.

“Guru BK harus menjadi jembatan ke layanan rehabilitasi, bukan sekadar memberi hukuman,” katanya.

Ia juga merekomendasikan sekolah menerapkan Restorative Justice, yakni pemulihan hubungan dan reintegrasi siswa, bukan hukuman retributif seperti pemecatan yang justru dapat mengembalikan mereka ke lingkungan jalanan.

Riyan menilai diperlukan kebijakan sosiologis yang lebih agresif dari Pemkot Surabaya dan BNN. Ia merekomendasikan pendekatan Sistem Sosial-Ekologis, antara lain:

Revitalisasi Infrastruktur Sosial: membangun pusat kegiatan remaja yang dikelola komunitas di kawasan Kunti, menyediakan program seni, olahraga, dan pelatihan gratis guna mengalihkan waktu luang mereka ke aktivitas positif.

Integrasi Outreach Worker Lokal: merekrut tokoh masyarakat atau mantan pengguna yang pulih sebagai petugas jangkauan BNN untuk menjangkau remaja berisiko melalui jejaring informal.

Pengawasan Jaringan Sosial di Sekitar Sekolah: mewajibkan pemantauan titik-titik rawan seperti warung atau area pertemuan informal yang sering dimanfaatkan pengedar.

“Sekolah harus menjadi zona aman. Fokus sanksi harus diarahkan kepada pihak luar yang mengeksploitasi anak-anak, bukan kepada siswa korban,” pungkasnya.