Prof. Sujinah: Guru Harus Menjadi Arsitek Pembelajaran di Era AI

  • Beranda -
  • Berita -
  • Prof. Sujinah: Guru Harus Menjadi Arsitek Pembelajaran di Era AI
Gambar Berita Prof. Sujinah: Guru Harus Menjadi Arsitek Pembelajaran di Era AI
  • 23 Okt
  • 2025

Prof. Sujinah Guru Besar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (Humas)

Prof. Sujinah: Guru Harus Menjadi Arsitek Pembelajaran di Era AI

Dunia pendidikan sedang berada di persimpangan besar. Ketika teknologi berkembang cepat dan kurikulum terus berubah, Prof. Dr. Dra. Sujinah, M.Pd., Guru Besar Bidang Kepakaran Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), mengingatkan bahwa inti dari pendidikan tetaplah manusia terutama sosok pendidik itu sendiri.

Dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk “Transformasi Pendekatan Pembelajaran: Dari Teaching-Centered Learning hingga Deep Learning, Berujung kepada Pendidik”, Prof. Sujinah menegaskan bahwa pendidikan Indonesia saat ini tidak hanya membutuhkan reformasi kurikulum, tetapi juga revolusi dalam cara guru memahami makna mengajar. 

“Pendidikan bukan tentang memindahkan ilmu dari pendidik ke murid, melainkan tentang menyalakan api ruh yang membuat proses pembelajaran menjadi bermakna,” ujarnya mengutip refleksi klasik yang ia jadikan dasar filosofis perjalanan akademiknya.

Dalam orasinya, Prof. Sujinah menguraikan tantangan dunia pendidikan masa kini yang penuh ketidakpastian. Ia menyoroti rendahnya literasi dan numerasi Indonesia berdasarkan hasil PISA 2022, kesenjangan mutu antarwilayah, serta resistensi sebagian guru terhadap perubahan. 

“Banyak pembelajaran masih terjebak pada paradigma lama menghafal, bukan memahami; menekankan hasil, bukan proses; fokus pada pengetahuan, bukan karakter,” ungkapnya.

Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pendidik untuk menggeser pendekatan dari teacher-centered learning menuju deep learning pembelajaran mendalam yang menumbuhkan berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan karakter. 

“Anak-anak kita lahir di era digital, tumbuh dalam ekosistem global, dan akan bekerja di dunia yang sebagian besar profesinya belum ada hari ini. Maka, pembelajaran masa kini dengan pendekatan masa lalu jelas tidak lagi relevan,” tegasnya.

Mengutip John Dewey, Prof. Sujinah menegaskan: “If we teach today as we taught yesterday, we rob our children of tomorrow.” Artinya, jika cara kita mengajar hari ini sama seperti kemarin, maka sesungguhnya kita sedang merampas masa depan anak-anak kita.

Lebih jauh, Prof. Sujinah mengingatkan bahwa transformasi pembelajaran bukan semata perubahan metode, tetapi transformasi ruh seorang pendidik. 

“Materi pembelajaran itu penting, tetapi metode jauh lebih penting dari materi. Dan guru jauh lebih penting dari metode. Namun yang paling penting dari semuanya adalah ruh seorang guru,” tuturnya, 

Bagi Prof. Sujinah, ruh guru adalah etika, dedikasi, dan empati yang hidup dalam diri seorang pendidik.

 “Guru yang memiliki ruh pendidikan tidak hanya hadir untuk mengajar, tetapi untuk menumbuhkan kehidupan. Ia datang dengan cinta, integritas, dan semangat belajar sepanjang hayat,” ujarnya.

Penelitiannya juga memperkuat pandangan ini. Mengutip temuan John Hattie (2009) dalam Visible Learning, Prof. Sujinah menjelaskan bahwa pengaruh guru terhadap hasil belajar siswa mencapai 30%, jauh lebih besar dibanding pengaruh faktor sekolah, keluarga, atau lingkungan. 

“Artinya, keberhasilan pendidikan diukur bukan dari gedung atau kurikulum, tetapi dari kualitas pendidiknya,” tegasnya.

Dalam pidatonya, Prof. Sujinah juga mengutip pesan Umar bin Khattab yang relevan dengan konteks abad ke-21: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka diciptakan untuk zaman mereka, bukan zamanmu.” Menurutnya, pesan ini adalah kunci perubahan paradigma pendidikan modern.

“Guru hari ini tidak cukup hanya memahami kurikulum, tapi harus memahami zaman muridnya,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya pendidikan yang fleksibel, adaptif, dan bermakna  pendidikan yang menumbuhkan manusia yang beriman, berilmu, dan berkarakter.

Lebih lanjut, Prof. Sujinah menegaskan bahwa guru di abad ke-21 harus menguasai 11 keterampilan utama: karakter, ketangguhan, keunggulan, kreativitas, berpikir kritis, inovasi, adaptasi, produktivitas, kolaborasi, komunikasi, dan kemampuan memberi inspirasi. “Guru tidak bisa hanya menjadi pengajar, tapi harus menjadi pembelajar, inovator, dan role model bagi peserta didiknya,” tambahnya.

Mengakhiri pidatonya, Prof. Sujinah menegaskan pentingnya pendidikan yang berpijak pada nilai kemanusiaan. 

“Pendidikan sejati adalah yang memerdekakan dan menumbuhkan manusia,” katanya.

 Ia mengajak seluruh pendidik untuk menanamkan nilai literasi yang berbasis kearifan lokal, agar generasi muda tidak tercerabut dari akar budayanya.

Sebagai akademisi yang telah mengabdi lebih dari 30 tahun di UMSurabaya, Prof. Sujinah tidak hanya dikenal lewat karya ilmiahnya, tetapi juga keteladanannya. Ia menulis buku-buku penting seperti Menjadi Pembicara Terampil, Literasi dan Kearifan Lokal untuk Anak, dan Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Siswa Cerdas Istimewa.

Kini, setelah dikukuhkan sebagai Guru Besar, ia memandang jabatan ini bukan puncak, melainkan babak baru pengabdian. 

“Ilmu yang tidak dibagikan akan berhenti di diri kita. Saya ingin terus menjadi bagian dari aliran pengetahuan yang bermanfaat,” ujarnya.

Pidato pengukuhan Prof. Sujinah bukan sekadar refleksi akademik, tetapi juga seruan moral bagi dunia pendidikan Indonesia. Ia menegaskan bahwa transformasi pendidikan tidak akan berhasil jika guru kehilangan ruh kemanusiaan-nya.

“Guru bukan sekadar pengajar, tapi pembangun peradaban,” katanya menutup pidato dengan ayat dari Surat Al-Mujadilah (58:11): “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”

Melalui dedikasi dan pemikirannya, Prof. Sujinah mengingatkan bangsa ini bahwa pendidikan bukan tentang seberapa cepat kita mengejar teknologi, melainkan seberapa dalam kita menanamkan kemanusiaan dalam setiap proses belajar. Dari ruang kelas hingga forum ilmiah, ia menulis pesan yang akan terus bergema: bahwa ruh guru adalah cahaya yang tak pernah padam.