Tangkapan Layar Tik-Tok
Upaya Kementerian Agama (Kemenag) memperkenalkan gerakan “Tepuk Sakinah” sebagai bagian dari kampanye keharmonisan keluarga menuai beragam tanggapan publik. Salah satunya datang dari M. Febriyanto Firman Wijaya, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya).
Menurut Riyan, inisiatif ini menunjukkan upaya adaptif Kemenag dalam memanfaatkan pola komunikasi yang populer di masyarakat.
“Kemenag mencoba mengemas nilai luhur tentang keluarga sakinah dengan pendekatan kekinian yang mudah diterima publik. Ini langkah kreatif yang patut dicatat,” ujarnya Kamis (9/10/25)
Namun, di balik kreativitas tersebut, Febriyanto menilai ada sejumlah hal krusial yang perlu dicermati agar kampanye ini tidak kehilangan makna. Ia menyoroti tiga catatan utama:
Pertama, Risiko Reduksionisme dan Performativitas. Konsep keluarga sakinah, kata Riyan sejatinya mencakup aspek yang luas dan mendalam mulai dari komunikasi sehat, manajemen konflik, kecerdasan emosional, hingga stabilitas spiritual dan finansial.
“Ketika seluruh kompleksitas itu dikemas dalam bentuk ‘tepuk tangan’, ada risiko makna luhur ini direduksi menjadi sekadar ritual simbolik,” jelasnya.
Ia menambahkan, bahaya lainnya adalah munculnya perilaku performatif, di mana pasangan hanya pandai memperagakan keharmonisan di ruang publik, namun gagal menerapkannya dalam kehidupan nyata.
“Seolah-olah cukup dengan satu gerakan tepuk tangan, semua masalah rumah tangga bisa selesai. Ini bisa menciptakan ilusi keharmonisan semu,” tegasnya.
Riyan juga mengingatkan agar lembaga negara berhati-hati ketika masuk ke ranah privat seperti keluarga.
“Kampanye yang terlalu preskriptif berisiko dianggap menggurui. Setiap keluarga memiliki cara unik membangun keintiman dan menyelesaikan masalah,” tuturnya.
Menurutnya, memperkenalkan “ritual seragam” dari atas ke bawah bisa mengurangi otonomi dan kecerdasan emosional pasangan.
“Alih-alih memperkuat, bisa jadi malah terasa kaku dan tidak relevan bagi pasangan muda yang lebih terbuka dan dinamis,” tambahnya.
Dengan kultur media sosial yang sarat sarkasme, Riyan menilai kampanye seperti ini rawan menjadi bahan olok-olok.
“Jika tidak diadopsi secara tulus, ‘Tepuk Sakinah’ bisa berbalik menjadi meme dan kehilangan kredibilitas. Alih-alih memperkuat pesan sakinah, malah menjauhkan publik dari substansinya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Riyan mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada ilusi keberhasilan viral.
“Keberhasilan kebijakan publik seharusnya diukur dari data konkret penurunan angka perceraian, berkurangnya KDRT, meningkatnya partisipasi konseling pernikahan bukan dari banyaknya video TikTok,” jelasnya.
Ia menegaskan, fokus berlebihan pada aspek viral bisa mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih fundamental, seperti akses ke layanan konseling pernikahan profesional, edukasi literasi finansial, perlindungan korban KDRT, dan dukungan kesehatan mental keluarga.
Riyan menutup pandangannya dengan refleksi kritis. “Tepuk Sakinah” memang menarik sebagai eksperimen komunikasi publik, namun ia menilai kampanye ini hanya akan bermakna jika diikuti dengan program pendukung yang kuat, mendalam, dan mudah diakses.
“Jangan sampai energi untuk memviralkan kampanye ini tidak sepadan dengan hasilnya. Jika berhenti di level gimmick, ‘Tepuk Sakinah’ hanya akan menjadi tepuk tangan di tengah riuh rendah persoalan keluarga yang sesungguhnya terdengar sejenak, lalu hilang tanpa bekas,” pungkasnya.
(0) Komentar