Lembaga Kajian Gender (LKG) Universitas Muhammadiyah
Surabaya (UM Surabaya) menggelar webinar bersama pakar dengan tema Polemik RUU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Ada apa? dalam webinar tersebut LKG juga merilis
bunga rampai book chapters berjudul
Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Transdisipliner. Sabtu (8/1/2022)
Acara yang berlangsung virtual diikuti langsung oleh
ratusan peserta mulai dari akademisi, dosen, mahasiswa, hingga pegiat gender. Diskusi
ini dilatarbelakangi tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan
sekaligus menjawab keingintahuan masyarakat terkait polemik rancangan
undang-undang tindak pidana kekerasan seksual yang tak kunjung disahkan.
Turut hadir dalam acara tersebut Mas’ulah Kepala
Lembaga Kajian Gender (LKG) UM Surabaya, Siti Dalilah Candrawati Ketua Pimpinan
Wilayah Aisyiyah Jawa Timur, tiga narasumber Sri Wiyanti Eddyono Ketua Pusat
Kajian Law Gender and Society (LGS) Fakulitas Hukum Universitas Gadjah
Mada (UGM), Auliya Khasanofa Sekretaris Masyarakat HTN-HAN Muhammadiyah
(MAHUTAMA) dan Thoat Setiawan Dekan Fakultas Agama Islam UM Surabaya.
Rektor UM Surabaya Sukadiono dalam sambutannya menyambut
positif acara yang digagas oleh Lembaga Kajian Gender (LKG) UM Surabaya.
“Kita harus bisa mengambil peran dan memberikan
rekomendasi positif. Persyarikatan Muhammadiyah memiliki andil yang sangat
besar di setiap permasalahan yang terjadi di negara kita. Saya berharap setelah
webinar ini lahir rekomendasi-rekomendasi positif sebagai problem solver melalui keilmuan dan kajian yang mendalam ,”tutur
Suko saat membuka acara.
Sementara itu Sri Wiyanti Eddyono Ketua Pusat Kajian Law
Gender and Society FH UGM dalam paparannya menjelaskan pentingnya mendukung
perspektif korban dalam penindakan kasus kekerasan seksual.
“Pemenuhan hak korban yang diatur oleh undang-undang
ini berlaku pada korban kekerasan seksual yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan lainnya. Jadi pemenuhan hak korban, keluarga korban, saksi
dan ahli merupakan kewajiban negara sejak terjadinya kekerasan seksual, baik
sebelum maupun selama dan sesudah proses peradilan.”ungkap Wiyanti kepada
peserta webinar.
Wiyanti juga menambahkan dalam pengaturan hak korban
bahwa korban kekerasan seksual tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata
terhadap peristiwa yang dilaporkan atau diadukan.
Sementara itu narasumber lain Auliya Khasanofa
Sekretaris Masyarakat HTN-HAN Muhammadiyah menjelaskan dalam paparannya bahwa
RUU TPKS berkaitan dengan nilai agama dan moral. Pada prinsipnya peraturan
perundangan tidak boleh bertentangan dengan agama sebagai salah satu sumber
nilai.
“Hukum selain berfungsi untuk memberikan perlindungan
masyarakat juga berfungsi untuk mengembangkan masyarakat. Selain itu, hukum
juga harus mencerminkan jiwa rakyat. Sesuai dengan prinsip Muhammadiyah sebagai
gerakan amar ma’ruf nahi munkar, maka segala bentuk kemungkaran termasuk
kekerasan seksual harus dihapuskan, namun pendekatannya perlu dirumuskan
kembali dan hukum pidana bukan satu-satunya solusi,”jelas Auliya.
Di akhir paparannya Auliya menilai dan mengkritisi
pembentukan produk RUU PKS yang dinilai cacat hukum karena kurangnya
keterbukaan dan dalam penyusunannya syarat akan kepentingan politik, hal
tersebut bisa dilihat dari tarik ulur fraksi yang ada di parlemen.