Satu minggu lalu tepat 12 April 2022 DPR RI mengesahkan
Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang undang.
Perjuangan dan kerja keras dari berbagai pihak selama 10 tahun terakhir akhirnya
membuahkan hasil. Hal tersebut menarik perhatian Dosen UM Surabaya Sri Lestari untuk memberikan
tanggapan.
Apresiasi patut diberikan kepada DPR RI karena telah bekerja
keras dan cepat setelah sempat terjadi penolakan menjadi RUU inisiatif di Baleg
tahun 2021. Meskipun begitu, ada beberapa pasal yang tak berhasil disahkan.
“Pertama, beberapa pasal seperti perkosaan dan aborsi gagal
untuk diatur secara detail sehingga hal ini ditakutkan akan membuat para korban
tidak dapat mengakses hukum. Begitu halnya dengan pasal 35 tentang restitusi
korban sebagai kompensasi yang harus dibayar pelaku juga tak berhasil disahkan,”
tutur Tari Selasa (19/4/22)
Menurut Tari Dosen yang sekaligus pemerhati perempuan,
masyarakat kini telah memiliki UU TPKS yang memuat terobosan penting yang
mengatur 9 bentuk kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan
seksual non fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi,
pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan
seksual dan pemaksaan perkawinan.
“Disahkannya undang-undang ini juga secara komprehensif telah
mengatur pencegahan, pemulihan korban, pemidanaan pelaku, pencegahan, serta
pemantauan tindak pidana kekersan seksual,”imbuhnya lagi.
Lebih lanjut lagi Tari menjelaskan keberhasilan ini menjadi
hadiah bagi banyak pihak yang telah memperjuangkan advokasi korban kekerasan
seksual yang kelak di kemudian hari masih banyak hal yang harus diselesaikan
dan menjadi PR bersama.
Pertama, implementasi penanganan terhadap korban kekerasan
seksual yang tidak diatur dalam pasal undang-undang TPKS harus mendapatkan
perhatian lebih lanjut. Kedua, harus ada asas yang menjamin ketidakberulangan
kekerasan seksual karena ini akan sangat penting bagi proses pencegahan dan
pemulihan korban. Perlu juga memastikan dalam implementasinya korban
mendapatkan pelayanan secara komprehensif dalam hal perlindungan, pemulihan,
dan mengakses layanan hukum.
“Pemerintah juga perlu mengubah kultur hukumnya yang selama
ini cenderung menstigma dan mendiskriminasi korban kekerasan seksual.
Lembaga-lembaga pencegahan serta kampanye tentang kekerasan seksual juga perlu
dilakukan secara massif,”imbuhnya.
Di sisi lain, negara juga perlu mengedukasi aparaturnya agar
memiliki perspektif adil gender. Dalam perekrutan aparatur negara harus ada
asas yang jelas bahwa calon tidak pernah terindikasi sebagai pelaku tindak
kekerasan seksual .
“Jangan sampai setelah disahkan, undang-undang ini hanya
menjadi pesan kosong, yang pelaksanaannya hanya runcing ke atas namun tumpul ke
bawah. Tentu pemerintah dan elemen masyarakat perlu berkerja sama demi
mengimplementasikan undang-undang TPKS demi terciptanya Indonesia bebas
kekerasan seksual,”pungkasnya.