Citayam Fashion Week (CFW) sedang menjadi perbincangan hangat warganet,
mulai dari fashion kaum pinggiran hingga krisis struktural ruang publik. Ada
yang mendukung ada pula yang merundung. Bahkan fenomena Citayam Fashion Week
menarik beberapa pesohor untuk berkolaborasi memanfaatkan peluang hingga pada
akhirnya menuai kontroversi publik.
Ramainya fenomena ini menarik perhatian Radius Setiyawan Dosen UM
Surabaya untuk memberikan tanggapan.
“Awalnya apa yang terjadi di CFW adalah sebuah praktik lifestyling.
Sebuah perilaku yang sekadar mempertunjukan gaya hidup tertentu tanpa didukung
oleh kemampuan ekonomi yang merupakan dasar konsumsi sesungguhnya. Hal tersebut
bisa kita saksikan dalam beberapa konten ketika anak-anak SCBD menyebutkan
harga outfit mereka” jelas Radius, Kamis (28/7/22)
Menurut Radius CFW adalah efek dari konsumsi media dan berakibat pada
upaya meniru praktik tersebut. Lifestyling merujuk kepada konsumsi simbolis
yang dilakukan oleh kelas menegah lapis bawah dan tengah.
“Praktik CFW akhirnya meluas dan banyak ditiru di semua daerah. Sebagai
sebuah kreatifitas tentunya harus kita dukung dan support. Salah satunya adalah
penyediaan ruang publik yang aman dan sehat bagi anak-anak muda,”imbuh Radius
pengajar mata kuliah Cultural Studies.
Ia menegaskan soal beberapa pihak yang berusaha mematenkan nama CFW
bukan sebuah fenomena baru. Orang-orang dengan kapital lebih akan cenderung
mengambil manfaat dari situasi yang mungkin akan menguntungkan mereka. Kondisi
tersebut akan cenderung meminggirkan dan memanfaatkan orang-orang lemah yang
jelas-jelas mereka adalah orang-orang pertama yang mempopularkan CFW.
Dalam hak merek pasti ada (keuntungan) bagi pemegangnya. Mereka akan
mengeksploitasi nilai ekonomi yang ada karena royalti. Ketika hal tersebut dipegang
oleh orang yang tidak tepat, yang terjadi adalah eksploitasi dan anak-anak SCBD
sangat mungkin dirugikan atas kondisi tersebut.
“Biarkan anak-anak muda CFW eksis menciptakan dan mengimajinasikan
kreatifitas mereka. Kita semua harus melindungi dari upaya kapitalisasi yang
berujung merugikan mereka. Apalagi menjadi penggerak suara elite politik negara
atau orang-orang yang bermodal. Biarkan mereka tumbuh secara organik,”tutup
Alumnus Kajian Budaya dan Media UGM tersebut.