Beberapa
hari lalu media sosial dihebohkan dengan puluhan siswi SMP di Bengkulu Utara
yang menyayat tangan menggunakan silet. Selain trend di media sosial, faktor
lingkungan dan krisis identitas menjadi latar belakang atas aksi yang dilakukan
para pelajar tersebut.
Dosen
Fakultas Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UM Surabaya Uswatun
Hasanah menyebut hal tersebut berkaitan dengan self harm atau bentuk
perilaku menyakiti diri sendiri yang disebabkan berbagai macam tekanan
psikologis yang dialami oleh individu.
Uswatun
menyebut, perilaku ini umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda yang berada
pada masa transisi dimana mereka dituntut untuk mampu beradaptasi dalam
berbagai situasi baru yang asing. Fenomena self harm sampai saat ini
semakin meningkat, sudah menjadi sebuah kewajaran bahkan bagi sebagian besar
remaja hal tersebut dianggap sebagai solusi mutlak untuk menyelesaikan masalah
atau meluapkan emosi dalam diri.
“Tentu
saja penyelesaian masalah dengan menyakiti diri sendiri tidak dibenarkan dan
bukan merupakan solusi yang tepat,”tegas Uswatun Jumat (17/3/23)
Ia
menyebut, individu memiliki beberapa alasan dan memiliki tujuan saat melakukan self
harm dimana mereka berharap dengan melakukan hal tersebut dapat membantu
mengelola masalah emosional, mengurangi ketegangan, memberikan rasa sakit fisik
sehingga teralihkan dari tekanan emosionalnya, mengekspresikan emosi baik
berupa marah, sakit hati dan frustasi, sebagai bentuk pelarian, bentuk kendali
diri atas perasaanya, dan untuk meendapatkan perhatian orang lain.
Uswatun menegaskan, orang
tua maupun lingkungan sekitar individu dengan kecenderungan perilaku self
harm harus aware dan betul betul mengenali gejala self harm
yang dialami remaja, hal yang perlu diperhatikan diantaranya yaitu secara
verbal lebih banyak diam, tidak mampu mengungkapkan perasaan, mengungkapkan
tentang keputusasaan dan ketidakberdayaan, menunjukkan perilaku sulit menjalin
hubungan dengan orang lain, perilaku dan emosi yang berubah dengan cepat dan
impulsif, intens, dan tidak terduga, melukai diri dengan sengaja, menggosok
area secara berlebihan untuk membuat luka bakar, menyimpan benda tajam atau
barang lain yang digunakan untuk melukai diri sendiri di tangan, berusaha
menyembunyikan bekas luka dengan mengenakan baju lengan panjang atau celana panjang,
sering melaporkan tentang cedera atau luka yang tidak disengaja. Secara fisik
perlu diamati adanya bekas luka, seringkali berbentuk pola tertentu, adanya luka
baru, goresan, memar, bekas gigitan atau luka lainnya.
“Perilaku self
harm ini perlu diwaspadai karena tanpa disadari jika terus terjadi akan
mengarah pada gangguan psikologis atau yang dikenal dengan perilaku Nonsuicidal Self Injury (NSSI),”imbuh Uswatun
lagi.
Uswatun menambahkan, hal
sederhana yang bisa dilakukan anggota keluarga, khususnya orangtua jika
mendapati anak atau orang terdekat menunjukkan gejala atau perilaku self harm
maka harus dirangkul, dengan memberikan perhatian, memberikan kesempatan pada
anak untuk mengungkapkan perasaannya, berusaha untuk tidak menghakimi apa yang
anak lakukan, meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan positif bersama,
mencoba mencari informasi terkait perilaku self harm agar mendapatkan
panduan penanganan yang tepat.
“Jangan membiarkan yang
bersangkutan mengurung diri, sediakan lingkungan yang aman dan nyaman, bekerjasama
dengan sekolah atau support system lain disekitar individu dan
menanamkan nilai-nilai keagamaan yang cukup,”tegas Uswatun lagi.
Menurutnya, lingkungan
sekolah dapat membantu menangani masalah self harm dengan membangun
hubungan yang positif antara guru, staf sekolah dan murid, guru harus memiliki
kepedulian, kepekaan dan pemahaman yang baik terkait masalah kesehatan jiwa
siswa.