Tingginya angka kanker
serviks pada perempuan Indonesia menimbulkan banyak kegelisahan. A’im Matun
Nadhiroh dosen S1 Program Studi Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) menjelaskan bahwa kondisi pandemi Covid-19
berdampak signifikan pada program screening kanker serviks. Hasil
risetnya ini dipaparkan dalam agenda Internasional Multidisciplinary
Conference on Potential Research (MICon) Kamis (16/12/21)
A’im memaparkan salah
satu penyakit kanker pada perempuan yang disaat pandemi adalah kanker serviks.
Kanker serviks merupakan keganasan nomor dua yang terjadi pada organ genital
wanita dan sering terjadi pada usia reproduksi (15-44 tahun). Kasus kanker
serviks di dunia menempati peringkat nomor 3 paling umum terjadi pada wanita,
diperkirakan sebanyak 569.847 kasus baru dan kematian sebanyak 311.365 dengan
prosentase 85-90% mayoritas terjadi di negara berkembang di mana sumber daya
rendah atau terjadi pada orang dengan sosial ekonomi rendah.
A’im juga menegaskan
pentingnya pendeteksian lebih dini, sebab perkembangan penyakit kanker serviks
dari keadaan normal menjadi lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks
(NIS) membutuhkan waktu 5 tahun, dari stadium ringan ke stadium sedang
membutuhkan waktu 3 tahun dan dari stadium sedang ke stadium lanjut membutuhkan
waktu 7 tahun. Keterlambatan pengobatan kanker serviks salah satunya disebabkan
oleh terbatasnya akses screening dan pengobatan sehingga penderita
datang berobat sudah dalam stadium lanjut dan kondisi kritis.
“Kanker serviks adalah
kondisi yang tidak boleh dianggap sepele. Maka dari itu, sangat penting bagi
perempuan untuk mendeteksi penyakit ini. Semakin cepat dideteksi dan diobati,
peluang untuk menyembuhkan kanker serviks akan semakin tinggi. Selain itu,
risiko terjadinya komplikasi berbahaya juga bisa dihindari, screening
ini bisa dilakukan melalui pemeriksaan IVA dan Pap Smear,” ujar A’im doktor
muda alumnus Universitas Airlangga.
Lebih lanjut lagi A’im
menjelaskan untuk menghindari peningkatan kasus kanker serviks jangka panjang,
disarankan semua wanita usia reproduktif tetap melakukan screening
dengan berbagai rekomendasi. Setidaknya di dalam penelitiannya ada 6
rekomendasi yang disarankan. Kurang dari 21 tahun tidak ada rekomendasi, Usia
1-29 tahun screening sitologi setiap 3 tahun jika hasil tes >2 x
berturut-turut negatif, usia 30-65 tahun screening sitologi dan HPV test
tiap 5 tahun, jika hanya sitologi saja dilakukan tiap 3 tahun, usia lebih dari
65 tahun tidak harus di screening jika hasil screening dalam 20
tahun terakhir negatif dan tidak ada riwayat CIN, wanita yang telah menjalani
histerektomi total dan tidak ada riwayat CIN tidak perlu di screening,
wanita yang pernah vaksinasi HPV dianjurkan sesuai dengan usia 21.