Polemik diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
(Perppu Ciptaker) menimbulkan kegaduhan bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan
Perppu 2/2022 disebut mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (UU Ciptaker) yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat
(cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020.
Satria Unggul Wicaksana Pakar
Hukum UM Surabaya menyebut diterbitkannya Perppu Ciptaker menimbulkan berbagai permasalahan yang
mendasar. Menurutnya ada 5 alasan mengapa Perppu Ciptaker dinilai tidak tepat diantaranya:
Pertama, pemerintah sibuk
melegitimasi kekuasaannya, tidak memperhatikan keadaban konstitusi, pasca
terbitnya Perppu Ciptaker yang sebenarnya adalah cara mengelabui regulasi
perundangan, mengingat Putusan MK 91 tahun 2020 tidak betul-betul dijalankan
dan memperbaiki akar masalahnya, yaitu mengupayakan agar cacat formil dalam
pembentukan UU Ciptaker betul-betul diperbaiki.
“Terbitnya Perppu Ciptaker ini
karena pemerintah dan DPR gagal memenuhi putusan MK untuk melakukan perbaikan
dalam dua tahun, kemudian justru memaksakan pemberlakuan UU Ciptaker melalui
Perppu Ciptaker,”ujar Satria Senin (16/1/23)
Satria yang juga Direktur Pusat
Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya menyebut isi Perppu
Ciptaker adalah bentuk lain dari copy-paste dari UU Ciptaker dengan
mempertahankan kesalahan-kesalahan legislasi yang dilakukan.
Kedua, praktik pembuatan Perppu
yang ugal-ugalan dengan alasan resesi global bertentangan dengan tujuan negara
hukum. Menggunakan alasan resesi dan ekonomi global sebagai alasan dalam
melakukan regulasi, tentu hal tersebut sangat jauh bertentangan dengan keadaban
konstitusi dan konteks negara hukum yang mengedepankan adanya pembatasan
kekuasaan dan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara.
Ketiga, pengabaian hak warga
negara dan kelompok rentan. Pada konteks diterbitkannya Perppu Ciptaker
tentunya mengabaikan kelompok rentan, seperti buruh yang semakin kehilangan
hak-hak dasarnya, seperti pesangon, penentuan upah minimum, perluasan obyek
pekerjaan yang dapat menerapkan sistem outsourcing hingga mekanisme
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang tidak mengenal batas waktu.
“Hal tersebut tentunya sangat
berdampak buruk bagi buruh, serta sederet persoalan yang menimpa kelompok
rentan lainnya seperti kelompok disabilitas, perempuan, dan kelompok masyarakat
lainnya,”tegasnya lagi.
Keempat, penerapan regulasi yang
kudeta konstitusi melalui hukum. Pada Pasal 184b pada Perppu Ciptaker
betul-betul mengabaikan mandat dari putusan MK 91 tahun 2020 yang mewajibkan pemerintah
untuk betul-betul evaluasi regulasi yang bermasalah, dan menggunakan segala
cara yang menandakan telah terjadi kudeta konstitusi melalui hukum,kekuasaan
kehakiman seperti MK melalui putusannya tidak dihormati sehingga dapat disebut
sebagai penghinaan terhadap mahkamah konstitusi (contempt of constitutional
court).
Terakhir, pelaziman dan
legitimasi regulasi ugal-ugalan tanda serangan terhadap kebebasan akademik dan
demokrasi, karena berbagai akademisi memberi legitimasi dengan ilmu pengetahuan
yang teknokratik untuk membenarkan upaya pemerintah dalam mengesahkan Perppu
Ciptaker.
“Hal tersebut jelas bertentangan
dengan prinsip dan integritas kebebasan akademik dan tentu menjadi akar masalah
dari melemahnya demokrasi di Indonesia,”pungkas Satria.