Gegap gempita pesta demokrasi sudah mulai dirasakan di Indonesia. Tahun
politik 2023 mulai terlihat saat beberapa tokoh mulai bermunculan dan dan
diusung sebagai calon orang nomor satu di Indonesia.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia dituntut terus melakukan regenerasi
kepemimpinan, mulai dari tingkat lokal hingga kepemimpinan nasional. Regenerasi
kepemimpinan melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
Mengutip Bawaslu RI 2021, pemilu 2024 akan menghadapi berbagai
tantangan, mulai dari kesulitan hak pilih lantaran banyaknya surat suara,
adanya irisan tahapan penyelenggaraan yang akan berjalan bersamaan antara
pemilu dan pilkada, serta pemutakhiran data pemilih disinyalir akan menjadi
masalah pada Pemilu 2024.
Pakar Hukum UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana menjelaskan, DPR,
pemerintah, dan KPU menyepakati besaran anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 76
triliun. Anggaran tersebut dialokasikan kepada peserta pemilu untuk alat
peraga, kampanye, serta biaya logistik lainnya.
“Jika tidak digunakan untuk terobosan pemilu dan habis di logistik,
tentu hal tersebut menjadi masalah serius dalam wujudkan Pemilu yang langsung,
bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil),”jelas Satria Sabtu (25/2/23)
Termasuk isu suku, ras, agama, adat-istiadat (SARA) yang digunakan oleh
peserta Pemilu, termasuk penggunaan isu politik uang, menguatnya populisme,
hadirnya calon peserta pemilu yang merupakan mantan narapidana korupsi, serta
politik dinasti yang menjadi tantangan yang sangat berat dalam jalannya Pemilu
2024.
Satria yang juga Dosen Fakultas Hukum UM Surabaya membagikan tiga pesan
yang perlu dilakukan oleh masyarakat sipil menjelang Pemilu 2024 ini.
Pertama, pemilih harus melakukan tracking terhadap rekam jejak peserta
Pemilu, baik partai, maupun calon legislatif, calon presiden-wapres, dan calon
kepala daerah. Rekam jejak dalam kaitannya dengan integritas, melaporkan harta
kekayaan penyelenggara negara dengan wajar, serta tidak terlibat dalam politik
dinasti sehingga dapat menguatkan demokrasi Indonesia
“Kedua, menghindari berbagai penyakit demokrasi, seperti intervensi
politik uang, penggunaan isu SARA, serta upaya memecah-belah persatuan yang
lainnya. Agar, estafet kepemimpinan yang dilakukan pada Pemilu 2024 mampu
menghasilkan pemimpin yang diharapkan masyarakat,”tegas Satria lagi.
Ketiga, resielensi masyarakat perlu diperkuat, dengan tetap aman untuk
menyampaikan kritik secara bertanggungjawab baik secara langsung maupun melalui
media sosial.
“Resielensi untuk memilih calon pemimpin yang dapat menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk pertahankan demokrasi, HAM, anti-korupsi, serta komitmen dalam mensejahterakan masyarakat,”pungkas Satria.