Direktur Pusat Studi
Anti Korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya)
Satria Unggul Wicaksana menanggapi imbauan Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait
penyelesaian kasus korupsi di bawah 50 juta dengan cara pengembalian kerugian
kepada negara adalah hal yang salah.
Satria menegaskan
pengembalian keuangan negara bagi pelaku korupsi di bawah 50 juta tidak
menghapus jerat pidana, hal ini sesuai dengan pasal 4 UU nomor 31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU nomor
20 tahun 2001.
“Dalam aturan tersebut
menjelaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 dan pasal 3,”papar Satria Selasa (8/2/22)
Satria menjelaskan
dalam pasal 2 bab tindak pidana korupsi berbunyi setiap orang yang secara
melawan hukum melalukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun
dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan
paling banyak satu milyar rupiah.
“Tak hanya pasal 2,
pasal 3 dalam UU tindak pidana juga menegaskan setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1
tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta dan paling
banyak satu milyar rupiah,”imbuh Satria.
Lebih lanjut lagi, ia
menegaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan berpengaruh secara
sistemik terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) warga negara dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan demokrasi.
“Tidak ada upaya
diversi (di luar proses pengadilan) bagi pelaku kejahatan korupsi, karena
sejatinya upaya diversi itu ditujukan kepada masyarakat miskin yang berhadapan
dengan hukum. Misal tukang bakso gerobak dorong yang dipidana karena melanggar
PPKM sehingga kredo hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas tidak terjadi
lagi,"tandasnya.