Lima terdakwa kasus dugaan
pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J telah
menjalani sidang tuntutan. Sidang tersebut digelar selama tiga hari di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Masing-masing terdakwa telah
mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kelima terdakwa dinilai jaksa
terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Yosua yang
direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan Pasal
340 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP perihal pembunuhan berencana.
Kuat dituntut pidana penjara 8
tahun, Ricky Rizal atau Bripka RR yang menjalani sidang tuntutan sama dengan
Kuat, dituntut pidana penjara 8 tahun, Mantan Kepala Divisi Profesi dan
Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu dituntut hukuman pidana penjara seumur
hidup, perbuatan Ferdi Sambo dianggap mencoreng institusi Polri dan menimbulkan
kegaduhan di tengah masyarakat,
Sementara itu, istri Ferdy Sambo,
Putri Candrawathi dituntut pidana penjara 8 tahun. Serta Richard Eliezer atau
Bharada E menjadi terdakwa terakhir dituntut pidana penjara 12 tahun.
Satria Unggul Wicaksana Dosen sekaligus
Pakar Hukum UM Surabaya menyebut, pada tuntutan JPU pada masing-masing kasus
tersebut setidaknya ada beberapa hal yang harus direfleksikan, yaitu:
Pertama, otak pelaku ( intelectual
daader) seharusnya mendapat hukuman maksimal, artinya tidak hanya Ferdi
Sambo yang mendapatkan tuntutan berat, Putri Candrawati seharusnya mendapatkan
tuntutan yang juga sama berat karena merencanakan dan akhirnya membuat Ferdi
Sambo dan Richard Eliezer mengeksekusi mati Brigadir Joshua.
Satria menjelaskan, di dalam
pembunuhan berencana terdapat unsur kesengajaan, dalam ilmu hukum pidana
dibedakan dalam 3 bentuk kesengajaan, yaitu: (1). Kesengajaan sebagai tujuan;
(2). Kesengajaan sebagai kepastian, dan; (3). Kesengajaan sebagai kemungkinan.
“Sehingga Peran Putri Candrawati
bisa dianggap intelectual daader karena ia mempunyai waktu berpikir
apakah pembunuhan itu akan diteruskan pelaksanaannya atau dibatalkan,”kata
Satria Selasa (24/1/23)
Menurutnya, pembunuhan berencana
hanya dapat terjadi jika dilakukan dengan sengaja, pembunuhan berencana tidak
akan terjadi karena kelalaian eksekutor.
Kedua, penghapusan pidana karena
terjadinya pemaksaan ( overmacht) seharusnya menjadi opsi dari JPU
terhadap Richard Eliezer, keberadaan paksaan atau yang dikenal dengan istilah overmacht
penting karena menentukan dan menjadi dasar peniadaan/penghapusan hukuman.
Overmacht merupakan hal
yang datangnya dari luar, mempengaruhi seseorang yang mengalaminya sehingga
orang tersebut tidak memiliki opsi lain untuk membela dirinya.
“Hal ini sejalan dengan Pasal 48
KUHP yang berbunyi: “Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa,
tidak dapat dipidana.” sehingga, tuntutan bagi Richard Eliezer sangat tidak
tepat,”imbuhnya lagi.
Ketiga, permintaan sebagai Justice
Collaborator (JC) harusnya juga menjadi dasar untuk meringankan tuntutan bagi
Richard Eliezer agar mendapatkan sanksi pidana seringan-ringannya, hal ini
sejalan dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban (UU 13/2006).
Terakhir, ia berharap kepada
Majelis Hakim yang menyidangkan perkara untuk terus menggali dan menemukan rasa
keadilan di tengah-tengah masyarakat.
“Hal ini sejalan dengan Pasal 5
ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, karena
vonis Hakim akan menjadi fase final dari kasus Ferdi Sambo, dan vonis betst
terhadap 5 terdakwa yang menjadikan rasa keadilan di tengah masyarakat akan
terpenuhi,”pungkas Satria.