Pertandingan International Youth
Championship (IYC) di Jakarta International Stadion (JIS) dalam laga
Atletico Madrid U18 melawan Bali United U18 diwarnai aksi rasisme hingga
seksisme dari penonton. Aksi yang tak patut ditiru dan menuai banyak kecaman
tersebut menarik perhatian Dosen UM Surabaya Radius Setiyawan untuk memberikan
tanggapan.
Dalam keterangan tertulis, Radius menjelaskan
dalam konteks Indonesia. Perilaku atau ucapan rasisme sering terjadi di
Indonesia.
“Selalu saja terulang, lagi-lagi ruang publik
kita dikotori tindakan rasis. ”tutur Radius Minggu (17/4/22)
Radius juga menyebutkan bahwa perlakukan rasis
kerap mengotori ruang publik di Indonesia. Dalam rentan waktu yg tidak terlalu
lama terjadi beruntun. Perlakuan rasisme terhadap Obby Kogoya di tahun 2016.
Persekusi pada mahasiswa Papua di Surabaya di tahun 2019, aksi rasisme terhadap
youtuber Papua, ungkapan salah satu Menteri yang mengancam ASN yang tidak
cekatan dalam bekerja untuk di mutasi di Papua.
Dan yang rasanya baru saja terjadi kemarin yang
dialami oleh pemain dan pelatih asal Papua, Rivaldo Wally dan Ardiles Rumbiak.
Kejadian tersebut terjadi pada babak 32 besar liga 3 antara Belitong FC versus
Persikota Tangerang.
"Dalam konteks Indonesia, sasaran rasisme
biasanya menyasar orang dengan kulit berwarna atau hitam. Yang paling sering
menimpa saudara-saudara kita di Papua,” imbuh Radius yang juga Alumnus S2
Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada.
Menurutnya wacana kolonial tidak bisa
dilepaskan dalam kejadian tersebut, masyarakat kulit hitam ditempatkan masih
sebagai makhluk yang belum dewasa (mature), terbelakang, bodoh dan layak untuk
dijadikan hinaan atau lelucon. Khas cara berpikir kolonial.
Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan persoalan
rasisme yang terjadi hari ini belum menjadi perhatian utama negara ini,
sehingga bisa dipastikan akan ada aksi konyol merendahkan bahkan menghina etnis
lain di ruang publik.
“Mental rasis mengendap sekian lama dan
mengharuskan kita selalu memiliki keinginan untuk menghina dan bahkan menundukkan
siapa saja yang dianggap rendah. Ini persoalan akut bangsa ini,”tegas Radius.
Sementara itu, modal utama menjadi negara
demokratis adalah pengakuan atas kesamaan dari segala macam perbedaan.
Indonesia yang multikultur tidak akan bisa besar jika hambatan-hambatan seperti
rasisme tetap ada dan cenderung dibiarkan. Kemanusiaan harus menjadi nilai utama dalam membangun
ke-Indonesiaan.
“Masyarakat kulit apapun harus di posisikan sebagai bangsa yang sama dan mempunyai hak yang sama pula,”ujarnya.
Di akhir keterangannya ia menegaskan peran
negara harus hadir mengurai masalah serius tersebut. Membangun cara pandang
baru melalui pendidikan dan budaya. Karena kalau dibiarkan saja. Ruang publik
kita akan tercemar dengan aksi-aksi rasis yang memalukan.