Maraknya pemberitaan tentang kekerasan seksual di Perguruan Tinggi menjadi catatan bagi siapapun. Kampus yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi generasi muda untuk menempuh pendidikan, menyiapkan diri jasmani dan rohani untuk menjadi pemimpin masa depan, saat ini kian menjadi tempat yang tidak aman bagi mereka khusunya para perempuan.
Mas’ulah Kepala Lembaga Kajian Gender (LKG) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) menanggapi maraknya predator seksual yang berlindung dalam baju jabatan baik jabatan struktural, administratif maupun akademis di Perguruan Tinggi.
“Premis bahwa tindak kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi di perguruan tinggi berakar dari ketimpangan relasi kuasa antar pelaku dan korban mempunyai sandaran argumen yang sulit dibantah,”ungkap Mas’ulah Sabtu (19/2/22)
Ia menjelaskan lokus, fokus dan modus kekerasan seksual di perguruan tinggi serta satuan satuan pendidikan lainnya memang khas dibandingankan tempat lain. Pelaku kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi bukan orang miskin, tidak berpendidikan, atau labil, tapi orang yang punya kekuasaan dalam berbagai bentuk dan tingkatan.
“Kekerasan seksual di Perguruan Tinggi bisa dicegah dengan dual action antisipasi dan
mitigasi,”imbuhnya.
Ia memaparkan hal pertama yang dilakukan adalah
pembentukan satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual Perguruan Tinggi
sebagai tindak
lanjut peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021.
Selanjutnya, pelaku tindak kekerasan seksual diproses secara tegas dan dipastikan mendapat sanksi sebagaimana
diatur oleh
undang-undang, misalnya pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun paling lama 15 (lima belas) tahun ( Pasal 81 Perpu nomor 1 tahun 2016).
“Penguatan pendidikan nilai (value-based
education) ini juga sangat penting karena pendidikan tidak hanya persoalan bagaimana
mengajarkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) namun juga
berkaitan dengan persoalan penanaman nilai-nilai baik nilai agama, budaya
maupun sosial kemasyarakatan,”katanya lagi.
Lebih lanjut lagi ia ia membeberkan pentingnya Perguruan Tinggi menopang
kurikulum pendidikan dengan penguatan
literasi gender selain penguatan nilai-nilai kemanusiaan seperti rasa hormat, integritas, kejujuran,
serta nilai-nilai mulia lainnya.
“Penerapan dan kontekstualisasi ajaran agama juga sangat dibutuhkan. Pendidikan agama tidak hanya menyangkut ajaran agama namun juga kontekstualisasinya. Misalnya, ajaran agama yang mengajarkan sikap hormat terhadapt martabat perempuan harus hendaknya diinternalisasi dan direalisasikan dalam kehidupan,”jelasnya.
Pada
hakekatnya semua agama mengangkat derajat serta martabat kaum perempuan. Agama Islam yang mengajarkan semua manusia
sama dihadapan Allah SWT hendaknya dijadikan dasar bahwa perempuan
itu bukan objek apalagi objek sah kekerasan atau pelecehan seksual.
Di akhir keterangannya ia menegaskan, langkah lain yang bisa dilakukan adalah pemberian pendidikan seksualitas. Pendidikan seksual yaitu pengetahuan tentang pelecehan seksual, perundungan (bullying), sentuhan yang baik dan sopan (good touch), sentuhan yang tidak seharusnya (bad touch), cara berteriak dan membuat isyarat yang bisa menarik perhatian serta langkah-langkah dalam melaporkan kejadian pelecehan seksual.
"Dengan pemahaman potensi ancaman, dimanapun dan dalam situasi apapun, seseorang akan mempunyai kepekaan memindai potensi kekerasan, pelecehan atau eksploitasi seksual lainnya sehingga dapat menghindarinya atau menangani situasi kritis jika keadaan memaksa,”tandasnya.